Nabi dan Rosul Alloh


Nabi dan Rasul adalah manusia-manusia pilihan yang bertugas memberi petunjuk kepada manusia tentang keesaan Allah SWT dan membina mereka agar melaksanakan ajaran-Nya. Ciri-ciri mereka dikemukakan dalam Al-Qur'an, "... ialah orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah. Mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan. " (Q.S. Al Ahzab : 39).

Perbedaan antara Nabi dan Rasul adalah : seorang Nabi menerima wahyu dari Allah SWT untuk dirinya sendiri, sedangkan Rasul menerima wahyu dari Allah SWT guna disampaikan kepada segenap umatnya. Para Nabi dan Rasul mempunyai 4 sifat wajib dan 4 sifat mustahil, serta satu sifat jaiz, yaitu :

1. Shiddiq (benar), Mustahil ia Kizib (dusta).
2. Amanah (dapat dipercaya), mustahil Khianat (curang).
3. Tabliqh (Menyampaikan wahyu kepada umatnya), Mustahil Kitman (menyembunyikan Wahyu).
4. Fathonah (Pandai/cerdas), Mustahil Jahlun (Bodoh).
5. Satu sifat jaiz yaitu Aradhul Basyariyah (sifat-sifat sebagaimana manusia).

01. Nabi Adam as
02. Nabi Idris as
03. Nabi Nuh as
04. Nabi Huud as
05. Nabi Shaleh as
06. Nabi Ibrahim as
07. Nabi Ismail as
08. Nabi Luth as
09. Nabi Ishaq as
10. Nabi Ya'qub as
11. Nabi Yusuf as
12. Nabi Syu'aib as
13. Nabi Ayyub as
14. Nabi Dzulkifli as
15. Nabi Musa as
16. Nabi Harun as
17. Nabi Daud as
18. Nabi Sulaiman as
19. Nabi Ilyas as
20. Nabi Ilyasa as
21. Nabi Yunus as
22. Nabi Zakaria as
23. Nabi Yahya as
24. Nabi Isa as
25. Nabi Muhammad saw

A'rodul Basyariyah

A'rodul Basyariyah= Sifat-sifat kemanusiaan makan, minum, buang berak dan laiinya yang disyariatkan syar'i

Jahil


Jahil=Bodoh

kitsman


kitsman=Menutupi

Hiyanat

Hiyanat

Kidzib

Kidzib=Bohong

Fatonah

Fathonah

Tablig

Tablig=Menyampaikan

Amanah

Amanah=Terpercaya

Siddiq

Siddiq=Benar

Jahilan

Jahilan - Yang dibodohi

Mayitan

Mayitan

Ashoman

Ashoman

Abkama

Abkama

Umyun

Umyun

Rukun Iman


1. Percaya kepada Allah

2. Percaya kepada Malaikat-Nya

3. Percaya kepada Rasul-Nya

4. Percaya kepada Kitab-Nya

5. Percaya kepada Hari Akhir

6. Percaya kepada Qada dan Qadar

Sifat Mustahil Di Rosul

Ada 4 sifat mustahil dirosul:

1. Kizib            Dusta
2. Khianat          Pengingkar
3. Kitman           Menyembunyikan
4. Baladah          Bodoh 



Rukun Islam

1. Mengucapkan dua kalimat “SYAHADAT”
2. Menjalankan SHALAT lima waktu dalam sehari semalam
3. Menjalankan ibadah PUASA selama sebulan di bulan Ramadhan
4. Membayar ZAKAT, zakat fitrah, zakat mall dan lain sebagainya
5. Menjalankan ibadah HAJI ke Baitullah, jika mampu

Sifat Mustahil Bagi Alloh SWT

Dua puluh (20) sifat mustahil di Alloh SWT diantaranya:

1.  ‘Adamun                       Tiada 
2.  Hudutsun                      Baharu
3.  Fanaun                        Binasa
4.  Mumatsalatul Lil Hawadisi     Menyamai Dgn Makhluknya
5.  Qiyamuhu Bi Ghairihi          Berdiri-Nya Dgn Yang Lain
6.  Ta’addud                      Berbilang-Bilang
7.  Ajzun                         Lemah
8.  Karahah                       Terpaksa
9.  Jahlun                        Bodoh
10. Mautun                        Mati
11. Summun                        Tuli
12. ‘Umyun                        Buta
13. Bukmun                        Bisu
14. Ajizan                        Yang Lemah
15. Karihan                       Yang Dipaksa
16. Jahilan                       Yang Dibodohi
17. Mayyitan                      Yang Dimatikan
18. Asoma                         Yang Tuli
19. A’ma                          Yang Dibutakan
20. Abkama                        Yang Dibisukan


Sifat Wajib Bagi Alloh SWT

Dua puluh (20) sifat wajib di Alloh SWT diantaranya:

1.  Wujud                       Ada
2.  Qidam                       Terdahulu 
3.  Baqa                        Kekal
4.  Mukhalafatul lil Hawadisi   Berlainan dengan makhluknya
5.  Qiyamuhu Ta’ala Binafsihi   Berdiri dengan sendiri-Nya
6.  Wahdaniyat                  Esa (zat, sifat & af’alnya)
7.  Qudrat                      Berkuasa
8.  Iradat                      Berkehendak
9.  Ilmu                        Mengetahui
10. Hayat                       Hidup
11. Sama’                       Mendengar
12. Bashar                      Melihat
13. Kalam                       Berbicara
14. Qadirun                     Yang Menguasai
15. Mu’ridun                    Yang Menghendaki
16. ‘Alimun                     Yang Mengetahui
17. Hayyun                      Yang Menghidupkan
18. Sami’un                     Yang Mendengar
19. Bashirun                    Yang Melihat
20. Mutakallimun                Yang Membicarai




Malaikat

Malaikat yang wajib diketahui dan di Imani:

1.  Jibril    tugasnya menyampaikan wahyu
2.  Mikail    tugasnya mengatur rezeki
3.  Israfil   tugasnya meniup Sangkakala 
4.  Izrail    tugasnya mencabut nyawa
5.  Munkar    tugasnya menanya amal di alam kubur
6.  Nakir     tugasnya menanya amal mayyit di alam kubur
7.  Raqib     tugasnya mencatat amal baik
8.  Atid      tugasnya mencatat amal buruk
9.  Malik     tugasnya menjaga pintu Neraka
10. Ridwan    tugasnya menjaga pintu Surga

Sifat-Sifat Para Rosul

A. Sifat Wajib
1. Siddiq (صديق) artinya benar
2. Amanah (أمانة) artinya terpercaya
3. Tablig (تبليغ) artinya menyampaikan
4. Fatonah (فاطنة) artinya pintar

B. Sifat Mustahil
1. Kidzdzib (كذب) artinya bohong
2. Hiyanat (حيانة) artinya cidra
3. Khitman (كتمان) artinya menutupi
4. Jahil (جاهل) artinya bodo

C. Sifat Mumkin:
1. A'rodul Basyariyyah (اعرض البشرية) Melakukan kebiasaan manusia biasa, kaya makan, minum buang berak dan lainnya yang tidak bertentangan dengan hukum syari'.

Bagian Syahadat

1. Syahadat Syar'an =
إدرك جازم موافق للواقع ناسئ عن دليل بحيث لايقع معه تردد
"Penemuan yang pasti sesuai bukti dan keluar dari dalil serta tidak dikenai keragu-raguan"

2. Syahadat Munjin
الإدعان والقبول
"Diakui dan diterima"

Syarat Syahadat

Syahadah yang diikrarkan seorang muslim tidak hanya sebagai ibadah lisan yang hanya diucapkan. Ia juga mencakup sikap dan perbuatan. Di mana syahadah menuntut seseorang untuk melakukan dan bersikap sesuai dengan tuntutan syahadah tersebut. Dan agar Syahadah diterima serta seseorang mendapatkan apa yang dijanjikan Allah kepadanya dengan syahadahnya itu, maka ada beberapa syarat yang mesti dimiliki oleh seseorang yang telah mengikrarkan syahadahnya. Di antaranya adalah:

1. Ilmu yang menolak kebodohan
(الْعِلْمُ الْمُنَافِي لِلْجَهْلِ )
Seseorang yang bersyahadah mesti memiliki ilmu tentang syahadatnya. Ia wajib memahami arti dua kalimat ini (Laa Ilaha Illa Allah, Muhammadur rasulullah) serta bersedia menerima hasil ucapannya. Dari kalimat syahadatain tersebut, maka seorang muslim juga harus memiliki ilmu tentang Allah, ma’rifatullah (mengenal Allah), dan ilmu tentang Rasulullah. Mengenal secara baik terhadap Allah dan Rasul-Nya menjadikan seseorang dapat memberikan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya tidak mengenal (bodoh) terhadap Allah dan Rasul-Nya menyebabkan seseorang tidak mampu menunaikan hak-hak Allah dan Rasul-Nya . Allah SWT berfirman dalam surat Muhammad:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
”Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (QS. Muhammad: 19).
Orang yang jahil atau bodoh tentang makna syahadatain tidak mungkin dapat mengamalkan dua kalimat syahadat tersebut.

2. Keyakinan yang menolak keraguan
(اَلْيَقِيْنُ الْمُنَافِي لِلشَّكِّ )
Syahadah yang diikrarkan juga harus dibarengi dengan keyakinan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Yakin bahwa Allah sebagai Pencipta, Pemberi Rezki, Ma’bud (Yang layak disembah), dan lain sebagainya, serta yakin bahwa Rasulullah adalah nabi terakhir yang diutus Allah. Seseorang yang bersyahadat mesti meyakini ucapannya sebagai suatu yang diimaninya dengan sepenuh hati tanpa keraguan. Keyakinan membawa seseorang pada istiqamah dan mendorong seseorang melakukan konsekuensinya, sedangkan ragu-ragu menimbulkan kemunafikan.
Iman yang benar adalah yang tidak bercampur dengan keraguan sedikit pun tentang ketauhidan Allah, sebagaimana dalam firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
”Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 15).
Selain itu, keyakinan kepada Allah SWT menjadikan seseorang terpimpin dalam hidayah. Allah SWT berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (QS. As-Sajadah: 24).
Keyakinan kepada Allah menuntut keyakinan kepada firman-Nya yang tertulis pada kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi dan rasul. Allah SWT menurunkan kitab-kitab itu sebagai petunjuk hidup. Dan di antara ciri mukmin adalah tidak ragu terhadap kebenaran Kitabullah dan yakin terhadap hari Akhir. Sebagaimana dalam firman-Nya:
الم
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
”Alif laam miin. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 1-5).

3. Keikhlasan Yang Menolak Kesyirikan
Ucapan syahadat mesti diiringi dengan niat yang ikhlas lillahi ta’ala. Ucapan syahadat yang bercampur dengan riya’ atau ada niat lain yang bukan untuk Allah SWT, maka ia akan tertolak. Terlebih lagi ketika nilai tauhid terkotori oleh kesyirikan. Ikhlas dalam bersyahadat merupakan dasar yang paling penting dalam pelaksanaan syahadat.
Syahadat merupakan ibadah, karenanya harus dilakukan dengan ikhlas. Allah SWT berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Selain itu, kesyirikan menghapus amal-amal seseorang, betapapun banyaknya amal itu.
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
”Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65).
Dan ibadah yang tidak diniatkan dengan ikhlas tidak diterima oleh Allah Ta’ala.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
”Katakanlah: Sesungguhnya Aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya“. (QS. Al-Kahfi: 110).

4. As-Shidqu (Benar) Yang Menolak Kebohongan (Dusta)
Dalam pernyataan syahadat muslim wajib membenarkannya tanpa dicampuri sedikit pun dusta (bohong). Ash-Shidqu ma’allah mutlak diperlukan demi menjaga kemurnian tauhid seseorang. Benar adalah landasan iman, sedangkan dusta landasan kufur. Sikap shiddiq akan menimbulkan ketaatan dan amanah. Sedangkan dusta menimbulkan kemaksiatan dan pengkhianatan. Dusta dan berbohong bertentangan dengan nilai kejujuran, membuat keimanan seseorang ditolak oleh Allah.
Ciri-ciri taqwa adalah sikap shiddiq (jujur). Sebagaimana firman Allah SWT,
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka Itulah orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Az-Zumar: 33).
Orang yang benar dan jujur syahadahnya akan terbukti dalam medan jihad dan Allah membalas mereka, sedangkan orang-orang munafik akan mendapat siksa.
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
لِيَجْزِيَ اللَّهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ إِنْ شَاءَ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya). Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 23-24).
Sedangkan ciri kemunafikan adalah dusta. Sebagaimana dalam firman-Nya,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
“Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,” pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 8-10).
Kebenaran dan kemunafikan diuji melalui cobaan. Untuk dilihat siapa sesungguhnya yang jujur dengan keimanannya.
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut: 2-3).
Sikap benar mengajak kepada kebaikan dan kebaikan membawa ke surga. Sifat dusta mengajak kepada keburukan dan keburukan membawa ke neraka. Rasulullah bersabda,
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا
“Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebajikan dan kebajikan menunjukkan kepada surga. Seseorang berlaku jujur sehingga ia dicatat sebagai orang jujur. Sesungguhnya dusta menunjukkan kepada kejahatan dan kejahatan menunjukkan kepada neraka. Seseorang berlaku dusta hingga ia ditulis sebagai pendusta.” (HR. Bukhari Muslim).
Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim melakukan hal-hal yang sejalan dengan keyakinannya dan meninggalkan yang meragukannya, sesungguhnya benar itu menenangkan (hati) sedangkan dusta itu meragu-ragukan.
Rasulullah bersabda,
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”

5. Mahabbah (Kecintaan) Yang Menolak Kebencian.
Dalam menyatakan syahadat ia mendasarkan pernyataannya dengan cinta. Cinta ialah rasa suka yang melapangkan dada. Ia merupakan ruh dari ibadah, sedangkan syahadatain merupakan ibadah yang paling utama. Dengan rasa cinta ini segala beban akan terasa ringan, tuntutan syahadatain akan dapat dilaksanakan dengan mudah.
Cinta kepada Allah yang teramat sangat merupakan sifat utama orang beriman. Allah berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
”Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zhalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al Baqarah: 165)
Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya menyebabkan datangnya rasa manis keimanan, sabda Rasulullah saw.,
قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
”Ada tiga perkara yang barangsiapa pada dirinya terdapat perkara itu akan mendapatkan manisnya iman; agar Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selainnya. Agar mencintai seseorang atau membencinya karena Allah. Dan agar benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci jika dilemparkan ke neraka.” (Muttafaq Alaihi).
Seorang mukmin mendahulukan kecintaan kepada Allah, Rasul dan jihad dari kecintaan terhadap yang lain.
قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
”Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24),

6. Menerima Yang Jauh Dari Penolakan.
Muslim secara mutlak menerima nilai-nilai serta kandungan isi syahadatain. Tidak ada keberatan dan tanpa rasa terpaksa sedikit pun. Baginya tidak ada pilihan lain kecuali Kitabullah dan sunnah Rasul. Ia senantiasa siap untuk mendengar, tunduk, patuh dan taat terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya.
Mukmin adalah mereka yang bertahkim (berhukum) kepada Rasul Allah dalam seluruh persoalannya kemudian ia menerima secara total keputusan Rasul, tanpa ragu-ragu dan kebenaran sedikit pun.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65).
Ciri orang beriman ialah menerima ketentuan dan perintah Allah tanpa keberatan dan pilihan lain.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36).
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).”(QS. Al-Qashash: 68).
Ciri mukmin ialah mendengar dan taat terhadap Allah dan Rasul dalam seluruh masalah hidup mereka.
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh“. dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur: 51).

7. Pelaksanaan Yang Jauh Dari Sikap Statis atau Diam.
Syahadatain hanya dapat dilaksanakan apabila diwujudkan dalam amal yang nyata. Maka muslim yang bersyahadat selalu siap melaksanakan ajaran Islam yang menjadi aplikasi syahadatain. Ia menentukan agar hukum dan undang-undang Allah berlaku pada diri, keluarga maupun masyarakatnya.
Perintah Allah untuk bekerja di jalan-Nya dengan perhitungan nilai kerja itu di sisi Allah.
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105).
Orang yang beramal shalih karena Allah, baik-laki-laki maupun perempuan akan mendapat kehidupan yang baik dan surga Allah.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Asas Tauhid

Iman adalah Asas Amal (الإِيْمَانُ أَسَاسُ العَمَلِ)
dakwatuna.com – Mengapa Allah SWT tidak menerima amal kecuali dari mukmin (yang beriman kepada Allah dengan iman yang sesuai syariat Islam)?
Sebab orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, tak mengharapkan pahala dari-Nya, tidak takut dengan hukuman-Nya, beramal tanpa pernah menginginkan keridhaan-Nya, dan tak peduli apakah yang mereka lakukan halal atau haram, maka mereka jelas tidak berhak memperoleh ganjaran pahala atas amal mereka meskipun amalnya baik. Karena mereka adalah orang-orang kafir (mengingkari kenabian Muhammad SAW) yang tidak berusaha mencari agama Allah yang benar, tidak mau mendengar penjelasan ilahi yang dibawa oleh para rasul alaihimussalam, di samping itu, jika mereka mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepada mereka, mereka mengolok-olokkannya, sehingga wajar kalau amal mereka tertolak dan mereka mendapat sangsi atas kekafiran mereka.
وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُورًا [٢٥:٢٣]
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan,[1] lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqaan: 23).
مَّثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ ۖ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ ۖ لَّا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَىٰ شَيْءٍ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الضَّلَالُ الْبَعِيدُ [١٤:١٨]
“Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (QS. Ibrahim: 18)
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِندَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ ۗ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ [٢٤:٣٩]
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (24: 39).
Sebagai contoh :
John (misalnya) masuk ke sebuah kebun besar yang bukan miliknya, ia menemukan beragam buah-buahan di dalamnya, lalu ia makan dan minum serta melakukan berbagai perbuatan: mencabut beberapa pohon dan menanam pohon yang lain tanpa seizin pemilik kebun. Sementara Muhsin (misalnya) masuk ke dalam kebun yang sama namun ia berkata pada dirinya sendiri: “Saya tidak akan melakukan apa-apa sebelum saya bertemu dengan pemilik kebun atau orang yang ditugaskan oleh pemilik kebun mewakilinya.” Lalu ia mulai mencarinya. Pada saat bertemu, pemilik kebun marah dan menolak apa yang dilakukan oleh John tapi John tidak peduli dan tetap melakukan apa yang ia kehendaki tanpa izin pemilik kebun. Sedangkan Muhsin mendengarkan dan mentaati semua arahan pemilik kebun. Siapakah yang berhak mendapat penghargaan dari pemilik kebun, John ataukah Muhsin? Apakah John berhak mendapatkan ucapan terima kasih apalagi bayaran atas apa yang telah ia lakukan meskipun baik?
Orang yang berakal pasti berkata bahwa Muhsinlah yang berhak mendapat penghargaan karena ia menuruti arahan dan aturan pemilik kebun, sedangkan John tidak memperolehnya karena perintah dan larangan dari pemilik kebun telah ia ketahui namun ia tak mau peduli, sehingga meskipun ada sebagian perbuatannya dianggap baik tetap saja ia tidak berhak memperoleh penghargaan.
Demikianlah, bumi ini dan semua isinya adalah milik Allah secara mutlak, para rasul-Nya adalah wakil Allah di bumi, orang yang beriman seperti “si Muhsin” yang beramal sesuai petunjuk Allah Penciptanya, dan orang kafir seperti “si John” yang berperilaku tanpa mau mengikuti petunjuk dan syariat Allah dan berpaling dari apa yang telah disampaikan rasul-Nya.
B. Pintu Islam : Dua Kalimat Syahadat (بَابُ الإِسْلاَمِ : الشَّهَادَتَانِ)
Mengapa Islam menjadikan dua kalimat syahadat sebagai rukun yang pertama?
Sebab kalimat syahadatain kita adalah:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إلهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ
Pengakuan dan pernyataan dengan syahadat pertama berarti: Anda meyakini dan membenarkan bahwa alam semesta ini ada Pencipta yang telah mengadakannya dari ketiadaan, mengatur dan menyempurnakannya, bahwa Dialah satu-satunya yang berhak disembah – tak ada sekutu bagi-Nya – bahwa Anda adalah salah satu ciptaan-Nya. Sedangkan syahadat kedua berarti Anda beriman, membenarkan dan meyakini bahwa Muhammad adalah utusan Allah SWT, Dia mengutusnya dengan membawa petunjuk dan penjelasan tentang hal-hal yang halal yang diridhai-Nya dan penjelasan tentang yang haram yang menyebabkan murka-Nya, bahwa dengan ketaatan Anda mengikuti Muhammad SAW berarti Anda telah merealisasikan ketaatan kepada Allah. Dan sudah sama-sama kita ketahui bahwa jika Anda tidak beriman dengan tauhid maka syahadat Anda dapat dikatakan batal atau tidak diterima.
JADI, kita harus mempelajari ilmu tauhid agar syahadat kita diakui, keislaman kita benar, dan agar amal kita diterima di sisi Allah SWT.
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ [٤٧:١٩]
“Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah.” (QS. Muhammad: 19)
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ [٣:١٨]
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran:18).
Oleh karena itu, ilmu tauhid adalah dasar semua ilmu agama dan sekaligus ilmu yang paling baik.
C. Kesimpulan (الخُلاَصَةُ)
Allah SWT tidak akan menerima amal orang-orang kafir, Dia hanya menerima amal mereka yang muslim (beriman kepada Allah sesuai syariat yang dibawa rasul-Nya).
Alasannya: karena orang kafir bisa jadi melakukan amal yang baik namun tidak menginginkan keridhaan Pencipta dan Pemilik dirinya bahkan ia tidak peduli apakah Allah ridha atau murka, maka ia berhak dihukum dan tak berhak mendapat pahala.
Pintu masuk Islam adalah dua kalimat syahadat. Sedangkan syahadat tidak akan sempurna jika seseorang tidak mengetahui ilmu tauhid. Oleh karenanya ilmu tauhid adalah ilmu paling penting menurut agama Islam.
Catatan Kaki:
[1]Yang dimaksud dengan amal mereka di sini ialah amal-amal mereka yang baik-baik yang mereka kerjakan di dunia, amal-amal itu tak dibalas oleh Allah karena mereka tidak beriman.

Mentauhidkan

Makna tauhidul asma wash-shifat (mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya) adalah meyakini secara mantap bahwa Allah swt. menyandang seluruh sifat kesempurnaan dan suci dari segala sifat kekurangan, dan bahwa Dia berbeda dengan seluruh makhluk-Nya.
Caranya adalah dengan menetapkan (mengakui) nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Dia sandangkan untuk Dirinya atau disandangkan oleh Rasulullah saw dengan tidak melakukan tahrif (pengubahan) lafazh atau maknanya, tidak ta’thil (pengabaian) yakni menyangkal seluruh atau sebagian nama dari sifat itu, tidak takyif (pengadaptasian) dengan menentukan esensi dan kondisinya, dan tidak tasybih (penyerupaan) dengan sifat-sifat makhluk.
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa tauhidul asma wash-shifat berdiri di atas tiga asas. Barang siapa menyimpang darinya, maka ia tidak termasuk orang yang mengesakan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya. Ketiga asas itu adalah:
1. menyakini bahwa Allah Maha Suci dari kemiripan dengan makhluk dan dari segala kekurangan.
2. mengimani seluruh nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa mengurangi atau menambah-nambahi dan tanpa mengubah atau mengabaikannya.
3. menutup keinginan untuk mengetahui kaifiyyah (kondisi) sifat-sifat itu.
Adapun asas yang pertama, yakni meyakini bahwa Allah Maha Suci dari kemiripan dengan makhluk dalam segala sifat-sifat-Nya, ini didasarkan pada firman Allah swt.:
“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya. ” [QS. Al-Ikhlash (112): 4]
“Maka janganlah kalian membuat perumpamaan-perumpamaan bagi Allah.” [QS. An-Nahl (16): 74]
Al-Qurtubi, saat menafsirkan firman Allah, ”Tidak ada yang sama dengan-Nya sesuatu apapun, ” mengatakan, ”Yang harus diyakini dalam bab ini adalah bahwa Allah swt., dalam hal keagungan, kebesaran, kekuasaan, dan keindahan nama serta ketinggian sifat-Nya, tidak satu pun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya dan tidak pula dapat diserupakan dengan makhluk-Nya. Dan sifat yang oleh syariat disandangkan kepada Pencipta dan kepada makhluk, pada hakikatnya esensinya berbeda meskipun lafazhnya sama. Sebab, sifat Allah Yang Tidak Berpemulaan (qadim) pasti berbeda dengan sifat makhluk-Nya.
Al-Wasithi mengatakan, ”Tidak ada Dzat yang sama dengan Dzat-Nya; tidak ada nama yang sama dengan nama-Nya; tidak ada perbuatan yang sama dengan perbuatan-Nya; tidak ada sifat yang sama dengan sifat-Nya kecuali dari sisi lafazhnya saja. Maha Suci Dzat Yang Qadim dari sifat-sifat makhluk. Sebagaimana adalah mustahil makhluk memiliki sifat-sifat Pencipta. Dan, inilah mazhab para pemegang kebenaran, yakni Alus Sunah Wal Jama’ah.
Sayyid Qutb mengatakan, saat menafsirkan ayat tersebut di atas, ”Fitrah pasti akan mengimani hal ini. Bahwa Pencipta segala sesuatu tidak akan dapat disamakan dalam hal sekecil apa pun oleh makhluk-Nya.”
Dan masuk dalam asas pertama ini, menyucikan Allah swt. dari segala yang bertentangan dengan sifat yang Dia sandangkan untuk Dirinya atau dengan sifat yang disandangkan oleh Rasulullah saw. Jadi mengesakan Allah dalam hal sifat-sifat-Nya menuntut seseorang Muslim untuk meyakini bahwa Allah tidak mempunyai istri, teman, tandingan, pembantu, dan syafi’ (pemberi syafa’at), kecuali atas izin-Nya. Dan juga menuntut seorang Muslim untuk menyucikan Allah dari sifat tidur, lelah, lemah, mati, bodoh, zalim, lalai, lupa, kantuk, dan sifat-sifat kekurangan lainnya.
Adapun asas kedua, mewajibkan kita untuk membatasi diri pada nama-nama dan sifat-sifat yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Nama-nama dan sifat-sifat itu harus ditetapkan berdasarkan wahyu, bukan logika. Jadi, tidak boleh menyandangkan sifat atau nama kepada Allah kecuali sejauh yang ditetapkan oleh Allah untuk Dirinya atau ditetapkan oleh Rasulullah saw. Sebab Allah swt. Maha Tahu tentang Dirinya, sifat-sifat-Nya ,dan nama-nama-Nya. Ia berfirman:
“Katakanlah, kalian yang lebih tahu atau Allah?” [QS. Al-Baqarah (2): 140]
Nah, bila Allah yang lebih mengetahui tentang Dirinya dan para Rasul-Nya adalah orang-orang jujur dan selalu membenarkan segala informasi dari-Nya, pasti mereka tidak akan menyampaikan selain dari apa yang diwayukan oleh-Nya kepada mereka. Karenanya, dalam urusan mengukuhkan atau menafikan nama-nama dan sifat-sifat Allah wajib merujuk kepada informasi dari Allah dan Rasul-Nya. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, ”Tidak boleh menyandangkan sifat kepada Allah selain dari apa yang disandangkan oleh Dirinya sendiri atau oleh Rasul-Nya; tidak boleh melangkahi Al-Qur’an dan Al-Hadist.”
Nu’aim bin Hammad, guru Imam Al-Bukhari, mengatakan, ”Barangsiapa menyamakan Allah dengan makhluk, maka ia kafir. Barangsiapa menolak sifat Allah yang disandangkan-Nya untuk Dirinya atau disandangkan oleh Rasul-Nya, maka ia kafir. Dan dalam sifat-sifat Allah yang disandangkan oleh-Nya atau oleh Rasul saw. tidak ada kesamaan atau kemiripan dengan sifat-sifat makhluk-Nya.”
Adapun asas yang ketiga menuntut manusia yang mukallaf untuk mengimani sifat-sifat dan nama-nama yang ditegaskan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa bertanya tentang kaifiyyah (kondisi)-Nya, dan tidak pula tentang esensinya. Sebab, mengetahui kaifiyyah sifat hanya akan dicapai manakala mengetahui kaifiyyah Dzat. Karena sifat-sifat itu berbeda-beda, tergantung pada penyandang sifat-sifat tersebut. Dan Dzat Allah tidak berhak dipertanyakan esensi dan kaifiyyah-Nya. Maka, demikian pula sifat-sifat-Nya, tidak boleh dipertanyakan kaifiyyah-Nya.
Karenanya, ketika para ulama salaf ditanya tentang kaifiyyah istiwa (cara Allah bersemayam) mereka menjawab, ”Istiwa itu sudah dipahami, sedang cara-caranya tidak diketahui; mengimaninya (istiwa) adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.” Jadi, kaum salaf sepakat bahwa kaifiyyah istiwa itu tidak diketahui oleh manusia dan bertanya tentang hal itu adalah bid’ah.
Jika ada seseorang bertanya kepada kita, ”Bagaimana cara Allah turun ke langit dunia?” Maka kita tanyakan kepadanya, “Bagaimana Dia?” Jika ia mengatakan, ”Saya tidak tahu kaifiyyah Dia.” Maka kita jawab, “Makanya kita tidak tahu kaifiyyah Dia. Sebab untuk mengetahui kaifiyyah sifat harus mengetahui terlebih dahulu kaifiyyah dzat yang disifati itu. Karena, sifat itu adalah cabang dan mengikuti yang disifati. Jadi, bagaimana Anda menuntut kami untuk menjelaskan cara Allah mendengar, melihat, berbicara, istiwa, padahal Anda tidak tahu bagaimana kaifiyyah Dzat-Nya. Maka, jika Anda mengakui bahwa Allah adalah wujud yang hakiki yang pasti memiliki segala sifat kesempurnaan dan tidak ada yang menandinginya, maka mendengar, melihat, berbicara, dan turunnya Allah tidak dapat digambarkan dan tidak bisa disamakan dengan makhluk-Nya.
Dari penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tauhidul asma wash-shifat ini dapat rusak dengan beberapa hal berikut:
1. Tasybih.
Yakni menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk. Seperti yang dilakukan orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masih bin Maryam dengan Allah swt; orang Yahudi menyerupakan ‘Uzair dengan Allah; orang-orang musyrik menyerupakan patung-patung mereka dengan Allah; beberapa kelompok yang menyerupakan wajah Allah dengan wajah makhluk, tangan Allah dengan tangan makhluk, pendengaran Allah dengan pendengaran makhluk, dan lain sebagainya.
2. Tahrif.
Artinya mengubah atau mengganti. Yakni mengubah lafazh-lafazh nama Allah dengan menambah atau mengurangi atau mengubah harakah i’rabiyyah, atau mengubah artinya, yang oleh para ahli bid’ah diklaim sebagai takwil, yaitu memahami satu lafazh dengan makna yang rusak dan tidak sejalan dengan makna yang digunakan dalam bahasa Arab. Seperti pengubahan kata dalam firman Allah wa kallamallahu musa taklima menjadi wa kallamallaha. Dengan demikian, mereka bermaksud menafikan sifat kalam (berbicara) dari Allah swt.
3. Ta’thil (pengabaian, membuat tidak berfungsi).
Yakni menampik sifat Allah dan menyangkal keberadaannya pada Dzat Allah swt., semisal menampik kesempurnaan-Nya dengan cara membantah nama-nama dan sifat-sifat-Nya; tidak melakukan ibadah kepada-Nya, atau menampik sesuatu sebagai ciptaan Allah swt, seperti orang yang mengatakan bahwa makhluk-makhluk ini qadim (tidak berpermulaan dan menyangkal bahwa Allah telah mencipatkan dan membuatnya).
4. Takyif (mengkondisikan) menentukan kondisi dan menetapkan esensinya.
Manhaj dalam memahami nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melakukan tasybih, tahrif, ta’thil dan takyif ini merupakan mazhab salaf, yakni kalangan sahabat, semoga Allah meridhai mereka semua, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in.
Asy-Syaikani mengatakan, “Sesungguhnya, mazhab salaf, yakni kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in, adalah memberlakukan dalil-dalil tentang sifat-sifat Allah sesuai dengan zhahirnya tanpa melakukan tahrif, takwil yang dipaksakan, dan tidak pula ta’thil yang mengakibatkan terjadinya banyak ta’wil. Dan jika mereka ditanya tentang sifat-sifat Allah, meraka membacakan dalil lalu menahan diri dari mengatakan pendapat itu dan ini, seraya mengatakan, Allah mengatakan demikian dan kami tidak mengetahui lebih dari itu.
Kami tidak akan memaksakan diri untuk berbicara apa yang tidak kami ketahui dan apa yang tidak Allah izinkan untuk kami lampaui. Jika si penanya itu menginginkan penjelasan melebihi dari yang zahir, maka mereka segera melarangnya agar tidak menenggelamkan dalam hal yang tidak berguna dan mencegah dari mencari apa yang tidak mungkin mereka capai selain terjerumus dalam bid’ah dan dalam hal yang tidak diajarkan Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat dan tabi’in. Dan pada masa itu, pendapat tentang al-asma wa ash-shifat adalah satu. Dan cara memahaminya juga sama.
Kesibukan mereka saat itu adalah melaksanakan apa yang Allah perintahkan dan tugaskan kepada mereka untuk dilaksanakan. Yakni beriman kepada Allah, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat dan pusa, haji, jihad, infaq, mencari ilmu yang bermanfaat, membimbing manusia kepada kebaikan, memerintah yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, dan sebagainya. Dan, mereka tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak dibebankan kepada mereka atau dengan hal-hal yang kalaupun dilaksanakan tidaklah merupakan ibadah, seperti mencari hakikat nama-nama dan sifat-sifat itu. Karenanya, pada masa itu agama Islam bersih dari debu-debu bid’ah.

Khwarikul adat

Khwarikul adat adalah perkara yang diluar pikiran manusia secara normal.
Segala sesuatu hak kholik, dari mulai yang adat atau diluar adat (خوارك الأدة), dekatnya seperti contoh;

A. Sifatnya Umumi:
Dalam arti yang pernah merasakan bukan hanya satu orang
1. Bisa makan karena ada makanan dan menimbulkan kenyang, sementara kenyang hak kholik, karena gak semua yang makan menjadi kenyang, atau tiba-tiba kita males makan terasa kenyang, maka itu diluar adat.

2. Biasanya jika badan kita tergores benda tajam maka keluar darah, tiba-tiba ada seseorang ahli tidak apa sekalipun dia mengenakan benda tersebut kebagian badannya tapi tidak apa-apa.

B. Sifatnya Khususi ;
1. Nabi Muhammad SAW berperang melawan 1000 musuh cuma dengan 300 orang sahabat.
2. Ketika nabi ibrohim kecapaian Didaerah Makkah tiba2 ada air, yaitu Zam-zam yang sampai sekarang tak pudar-pudar.
4. Nabi Muhammad berulang-ulang direncanakan mau dibunuh musuh-musuhnya, tetapi tak kena apapun.
dan yang lainnya;

C. Khususil Khusus:
1. Nabi Muhammad SAW dituruni Al-Qur'an sebagai pedoman hidup
2. Nabi Isa AS diturunin Injil

Pandangan

Hak Kholik; tak butuh kepada sesab atau musabab,
Pandangan Insaniyah; Terjadi sesuatu ada asas dan sebab

Hubungan Ilmu Tauhid Dengan Ilmu Lainnya

Ilmu tauhid adalah pokok atau dasar dalam keseluruhan dan ilmu lainnya merupakan cabang.

Persambungan

Syariat - Thorikat - Ma'rifat - Hakikat

Habl

Manusia - Kholik
Manusia - Manusia
Manusia - Alam Sekitar
Manusia - Makhluk
Manusia - Dengan Diri Sendiri
Manusia - Keyakinan
Manusia - Ilmu
Manusia - Amal
Manusia - Ikhlas
Manusia - Keterampilan

Asmaul Husna

99 Nama Hak Kholik

Sifat

Wajib
Mustahil
Mumkin

Fa'alu Kullu Mumkinin

Fa'alu Kullu Mumkinin

Umyan

Umyan

Bakman

Bakman

Tsamman

Tsamman

Mautan

Mautan

Jahilan

Jahilan

Harihan

Harihan

Azzan

Azzan

Tidak bicara

Bisu

A'ma

A'ma

Bukmu

Bukmu

Shoma

Shoma

Maut

Maut=Mati

Jahal

Jahal=Bodoh

Karoha

Karoha

Azzu

Azzu=Apes

Ta'addud

Ta'addud

Ihtiyaz

Ihtiyaz=Membutuhkan terhadap yang lain

Mumatsalats Lilhawadits

Mumatsalats Lilhawadits

Fana

Fana=Rusak/tidak abadi

Hudust

Hudust=Baru

Adam

Adam = Tidak ada/ Tiada

Mutakalliman

Sifat Allah ini berarti Yang Berbicara. Allah tidak bisu, Ia berbicara atau berfirman melalui ayat-ayat Al Quran. Bila Al Quran menjadi pedoman hidup kita, maka kita telah patuh dan tunduk terhadap Allah swt.

Basiron

Allah adalah Dzat Yang Maha Melihat. Sifat Allah ini tidak terbatas seperti halnya penglihatan manusia. Allah selalu melihat gerak-gerik kita. Oleh karena itu, hendaknya kita selalu berbuat baik.
“Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. “ (QS. Al Hujurat: 18).

Samiian

Allah adalah Dzat Yang Maha Mendengar. Allah selalu mendengar pembicaraan manusia, permintaan atau doa hambaNya.
“Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. “ (QS. Al Baqoroh: 256).

Hayyan

Allah adalah Dzat Yang Hidup. Allah tidak akan pernah mati, tidak akan pernah tidur ataupun lengah.
“Dan bertakwalah kepada Allah yang hidup kekal dan yang tidak mati. “ (QS. Al Furqon: 58).

Aaliman

Sifat Allah ‘Alimun, yaitu Dzat Yang Maha Mengetahui. Allah mengetahui segala hal yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Allah pun dapat mengetahui isi hati dan pikiran manusia.
“Dan Alllah Maha Mengetahui sesuatu. “ (QS. An Nisa’: 176).

Muridan

Allah memiliki sifat Muridun, yaitu sebagai Dzat Yang Maha Berkehendak. Ia berkehendak atas nasib dan takdir manusia.
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Melaksanakan apa yang Dia kehendaki. “ (QS.Hud: 107).

Qoodiron

Sifat Allah ini berarti Allah adalah Dzat yang Maha Berkuasa. Allah tidak lemah, Ia berkuasa penuh atas seluruh makhluk dan ciptaanNya.
“Sesungguhnya Alllah berkuasa atas segala sesuatu. “ (QS. Al Baqarah: 20)

Kalam

Kalam artinya berfirman. Sifat Allah ini dapat kita lihat dengan adanya Al Quran sebagai petunjuk yang benar bagi manusia di dunia. Al Quran merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. “ (QS. An-Nisa: 164)

Bashor

Basar artinya melihat. Penglihatan Allah juga tidak terbatas. Ia dapat melihat semua yang kita lakukan meskipun kita melakukan sesuatu secara sembunyi-sembunyi. Allah mampu melihat, naik yang besar maupun yang kecil, yang nyata maupun kasat mata. Sifat Allah ini menandakan bahwa Allah Maha Sempurna.

“Sesungguhnya ALLAH mengetahui apa yang ghaib di langit dan di bumi. Dan Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. “ (QS. Al-Hujurat: 18)

Sama'

Sifat Allah Sam’un atau mendengar. Allah selalu mendengar semua hal yang diucapkan manusia, meskipun ia berbicara dengan halusnya atau tidak terdengar sama sekali. Pendengaran Allah tidak terbatas dan tidak akan pernah sirna.
“Dan Allah-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. “ (QS. Al-Maidah: 76)

Hayat

Sifat Allah Hayat atau Hidup. Namun hidupnya Allah tidak seperti manusia, karena Allah yang menghidupkan manusia. Manusia bisa mati, Allah tidak mati, Ia akan hidup terus selama-lamanya.
“Allah tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur.” (QS. Al-Baqarah: 255)

Ilmu

Ilmu artinya mengetahui. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, meskipun pada hal yang tidak terlihat. Tiada yang luput dari penglihatan Allah.
“Katakanlah (kepada mereka): Apakah kamu akan memberitahukan kepada ALLAH tentang agamamu (keyakinanmu), padahal ALLAH mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan ALLAH Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Hujurât: 16)

Adapun sifat wajib bagi ALLah Taala yang ke Sembilan ialah Ilmu. Ilmu ertinya mengetahui.
Hakikat sifat ilmu ALLah Taala iaitu sifat yang berbuka bagiNya mengetahui ALLah Taala tentang yang wajib dan yang mustahil bagi zatNya, dan yang harus bagi kejadian ciptaanNya.
Maksud mengetahui yang wajib bagi zatNya iaitu ALLah Taala mengetahui sifat kesempurnaan zatNya. Demikian juga ALLah Taala mengetahui bahawa Dia adalah suci dari segala sifat kekurangan. Mustahil bagiNya tidak mengetahui akan zatNya sendiri.
Dan maksud mengetahui ALLah Taala segala yang harus pada kejadian ciptaanNya ialah Dia mengetahui segala ciptaanNya tanpa terdinding dari sifat tidak mengetahui. Demikian juga mustahil Dia tidak mengetahui bahawa zatNya maha suci dari kekurangan.
Adapun mengetahui ALLah Taala itu tidak dengan berusaha, tidak dengan berfikir, tidak dengan belajar, tidak dengan otak, tidak dengan memandang, tidak dengan dalil atau hujah, dan tidak dengan segalanya. Maka mengetahui ALLah Taala itu dengan zatNya yang Maha Mengetahui. Jika ALLah Taala sedemikian maka samalah Dia dengan makhluk, jadi lemah dan mustahil.
Ta’luk sifat Ilmu ALLah Taala
Adapun ta’luk sifat ilmu ALLah Taala pada yang harus yang diciptakanNya iaitu alam, pada semua keadaan dan semua masa.
Maksud mengetahui ALLah Taala pada semua keadaan ialah mengetahui ALLah Taala segala sesuatu di dalam tujuh petala langit dengan segala cakerawalanya, bintang, bulan, planet dan semuanya yang tidak pernah terfikir oleh otak manusia atau yang belum pernah dijumpai dengan teknologi zaman ini. Dan mengetahui ALLah Taala segala yang di dalam tujuh petala ntuterfikir oleh otak atau yangbelum ditemui oleh teknologi zaman ini.
Dan mengetahui ALLah Taala segala yang terlintas di dalam hati, segala was-was, fikir-fikir dan segala angan-angan, dan segala gerak naluri dan sebagainya.
Dan mengetahui ALLah Taala segala yang paling halus seperti jumlah kaki semut yang kecil. Segala kaki hama dan tungau. Bahkan mengetahui ALLah Taala semut yang hitam yang bergerak di atas batu yang hitam dimalam yang sangat gelap sekalipun atau di dalam gua yang sangat gelap.
Dan ta’luk ilmu ALLah Taala itu kepada yang harus adalah ta’luk ketentuan pada azali. Ta’luk ilmu tidaklah ta’luk pada patut azali kerana ta’luk patut itu pada iktibarnya adalah sebelum ta’luk ketentuan. Maka jika ta’luk patut, jadilah bermula dengan jahil.
Alam dan makhluk dalam ilmu ALLah Taala
Alam (termasuk makhluk kerana makhluk adalah alam yang baharu) adalah sesuatu yang dimaklumi oleh ALLah Taala dalam ilmuNya. Dalam ilmu tahqiq Tauhid disebut ma’lum. Sifat mengetahui adalah sifat ilmu. Yang mengetahui ialah ALLah Taala dan yang diketahui adalah maklumNya iaitulah alam.
Hukum alam pada sisi ALLah Taala adalah ujud ilmi. Erti ujud ilmi iaitu ujud dalam pengetahuan ALLah Taala. Ujud ini tidak dapat dipandang kerana ia adalah dalam pengetahuan semata-mata. Dan apabila ALLah Taala menciptanya dengan QudrahNya, maka dzahirlah dalam maksud maklum yakni alam dalam ilmu ALLah Taala itu ke keadaan dzahirnya.
Untuk mengelakkan kebingungan, contoh mudah seperti kita manusia. Kita berfikir untuk membuat kandang sapi (lembu). Pengetahuan kita tentang kandang sapi itu ada di dalam otak kita. Kandang sapi didalam fikiran itulah maksudnya maklum, yakni kandang sapi yang dimaklumi kita. Dan apabila kita membuat dan telah jadi, berpindahlah dalam maksud maklum kandang sapi itu ke alam dzahir.
Dalil ALLah Taala bersifat Maha Mengetahui ialah FirmanNya dalam al-Quran bermaksud “Dan ALLah Taala itu dengan setiap sesuatu itu sangat mengetahui”
Jika ALLah Taala tidak bersifat Maha Mengetahui maka Ia bodoh. Bodoh adalah sifat manusia. Mustahil hakikat yang disebut Tuhan itu bodoh. Jika ALLah Taala bodoh maka pasti tidak akan tercipta alam ini dengan segala kejadiannya yang sangat ajaib dan seni sekali. Tuhan yang bodoh pasti tidak akan dapat mencipta system alam yang teratur dan pastilah berbenturan. Maka mustahil ALLah Taala tidak bersifat Maha Mengetahui.
Orang yangmempercayai Tuhan itu bodoh, orang itulah yang bodoh sebenarnya.

Irodat


Iradat berarti berkehendak. Sifat Allah ini menandakan bahwa Allah swt memiliki kehendak atas semua ciptaanNya. Bila Allah telah berkehendak terhadap takdir atau nasib seseorang, maka ia takkan dapat mengelak atau menolaknya. Manusia hanya dapat berusaha dan berdoa, namun Allah lah yang menentukan. Kehendak Allah ini juga atas kemauan Allah tanpa ada campur tangan dari manusia atau makhluk lainnya.
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (QS. Hud: 107).


Pandangan yang lain:

Allah tabaroka wa ta'ala berkehendak pada perkara yang mumkin (dengan irodatnya). Irodat itu mentahsis sesuai dengan ilmuNya yang mena'aluki perkara jaiz..Artinya, jaiz yang pada ilmuNya itulah yang di kehendaki oleh Alllah Subhanahu wa ta'ala.

Adapun perkara wajib dan mustahil walau keduanya di ta'aluki Ilmu tapi keduanya tidak di ta'alluki irodat sebagimana keterangan yang lalu.Dalil aklinya pun sudah tegak dan tegas menyatakan bahwa irodat hanya ta'alluk kepada Jaiz. Silahkan rujuk kembali kalau belum jelas!

Nah sedangkan Muktazilah mengatakan bahwa irodat itu tergantung pada perintahhNya . Artinya apa saja yang di perintahkan oleh Allah itulah yang di kehendaki. Ini beda jauh dengan prinsif akidah ahlussunnah (asya'iroh) tadi.

Muktazilah beranggapan bahwa orang kafir itu kufurnya tidak di kehendaki Tuhan karena perintahNya adalah sebaliknya yaitu beriman. Orang yang meninggalkan sholat itu bukan kehendak tuhan karena perintahNya adalah menjalankan sholat dan seterusnya itulah anggapan kaum muktazilah. ini firqoh sesat dan menyesatkan dan menyimpang dari garis Syara' dan akal.

Jika logika muktazilah itu di teruskan, Apa yang terjadi ?


Kita tidak bisa membenarkan adanya sifat qudrat tanpa menemukan ta'alluknya(sasaranya). Ambil contoh ,misalkan ada orang mengatakan kepada kalian" hai fulan.. sungguh si zaid a...dalah orang yang berkuasa". Kemudian anda tanya ."apa yang di kuasainya (ta'alluk)?
Lalu spontan orang itumenjawab, "tidak ada'. Tentu siapapun tak kan membenarkan jawaban ini. Ini yang di maksud ta'alluk adalah nafsiyah (jatidiri) sifat tersebut.

Kepada apakah ta'alluk qudrat itu?

Perlu di ketahui di sini bahwa qudrat adalah sifat yang dengannya Allah ta'ala mewujudkan dan meniadakan. Tntu yang di tiadakan dan di adakan adalah perkara yang menerima wujud dan adam(tiada).
Singkatnya ijad Dan i'dam( mewujadkan dan meniadakan) haruslah kepada yang menerima wujud dan adam.
Perkara itu tidak lain adalah yang lazim di sebut perkara JAIZ akliy.

Mengapa tidak pada mustahil dan Wajib?

Sederhana saja jawabnya,karena Wajib adalah perkara yang tidak mau ADAM dan mustahil adalah perkara yang tidak menerima ADA. batasan tersebut adalah hakikat dari keduanya ( Wajib dan mustahil).

Perlu di ingat bahwa hakikat (nafsiyah), tidak bisa lepas dari perkaranya (yang empunya nafsiah).
sebaaimana nafsiyahnya sifat adalah berdiri pada mausufnya.,tidak di benarkan kalau ada sifat berpisah dari mausufnya dan itu tak pernah akan terjadi.

Jika qudrat ta'alluk kepad mustahil atau wajib maka harus terjadi wujud yang wajib menjadi Jaiz Adamnya dan yang mustahil wujudnya menjadi jaiz wujudnya. Allah menjadi tiada dan posisi tuhan (sifat uluhiyahnya)di gantikan tuhan yang lainnya. Yang lainnya bisa jadi makhluknya atau yang mustahil wujud tadi.Tentu itu tidak bisa di terima oleh akal.

Kesimpulan :
Qudrat dan irodat hanya ta'aluk kepad Jaiz Akliy.
Ini bukan batasan dan membatasi kekuasaanNya. Tapi memang begitulah kenyataanya.
Baik dan buruk adalah kehendak Alloh, kalau yang buruk bukan kehendak Alloh berarti ada sesuatu diluar kekuasaan Alloh dan itu mustahil


Tak boleh di sebut lemah gara2 kudrat tidak ta'alluk kepada mustahil dan wajib. Justru kalu qudrat berta'alluk kepada mustahil dan wajib akan berakibat fatal.

Kalau ada yang bertanya bisakah tuhan menciptakan anakNya?Hehe
ini pertanyaan cuku...p menggelikan. KAlau di jawab bisa, jadi rusaklah iman. Kalu di jawab tidak bisa, maka akan memberi kesan menisbatkan sifat yang tidal layak kepada allah jalla wa azza yaitu sifat lemah. Yang jelas Pertanyaan tersebut muncul lantaran tidak tahu pengertian wajib ,mustahil dan jaiz dengan sesunguhnya. Kacau. Maka hati2 terhadap ungkapan "tidak ada yang mustahil bagi tuhan". Bahasa kasarnya "itu akal perlu di servis".

Qudrot


Qudrat adalah berkuasa. Sifat Allah ini berarti Allah berkuasa atas segala yang ada atau yang telah Ia ciptakan. Kekuasaan Allah sangat berbeda dengan kekuasaan manusia di dunia. Allah memiliki kuasa terhadap hidup dan mati segala makhluk. Kekuasaan Allah itu sungguh besar dan tidak terbatas, sedangkan kekuasaan manusia di dunia dapat hilang atas kuasa Allah swt.
“Sesungguhnya ALLAH berkuasa atas segala sesuatu. “ (QS. Al-Baqarah: 20)


Sifat Qudrot dan Irodat Allah
Inilah hal yang baru saya temukan setelah sekian lama membaca kitab tentang Ilmu Tauhid. Ternyata dari dua sifat Allah Qudrot dan Irodat ada kesamaan dan perbedaan tersendiri. Jika diamati kesamaannya maka dua sifat ini memiliki hubungan dengan segala perkara yang mungkin adanya, bukan terhadap perkara yang mustahil dan wajib adanya. Jadi, jika ada pertanyaan seperti “Apakah Allah itu mampu untuk memb uat batu yang Allah sendiri tidak kuat untuk mengangkatnya??” maka kita tidak pantas untuk menjawabnya. Alasannya adalah karena sifat Qudrot Allah tidak mempunyai hubungan dengan segala hal yang mustahil dan hanya memiliki hubungan dengan perkara yang mungkin adanya. Adapun perbedaan dari sifat Qudrot dan Irodat ini adalah sebagai berikut. Sifat Qudrot berarti mendhohirkan segala perkara yang mungkin adanya, tapi sifat Irodat hanya menentukan terhadap segala perkara yang mungkin adanya. Pemahaman tersebut adalah pemahaman secara global mengenai dua sifat Allah yang semestinya diketahui oleh seorang muslim sejati. Syekh Sanusi dan Ibnu ‘Aroby mengatakan jika seseorang tidak bisa menjelaskan hal tersebut (pemahaman secara global) maka dia termasuk orang yang Taqlid dalam masalah Tauhid. Sedangkan seseorang yang hanya Taqlid tanpa mengetahui secara global penjelasannya (dalil) maka dia termasuk orang kafir.
Na’udzubillahi mindzaalik…..

Wahdaniyat


WAHDANIAH

Sifat Allah Wahdaniyyah yaitu esa atau tunggal. Hal ini sesuai dengan kalimat syahadat, Asyhadu alaa ilaa ha illallah, Tiada Tuhan selain Allah.
“Sekiranya ada di langit dan di bumi ilah-ilah selain ALLAH, tentulah keduanya itu sudah rusak binasa. Maka Maha Suci ALLAH yang mempunyai Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. “ (QS. Al-Anbiya: 22)

Tuhan Allah bersifat Wahdaniah.
Artinya Esa, Tuhan Allah Maha Esa, mustahil Ia banyak (berbilang) kalau Ia banyak tentu timbul perselisihan atau perbedaan paham antara mereka dan akan binasalah alam ini karena yang satu membawa ke hilir dan yang lain membawah ke mudik. Karena itu Allah Esa, Maha Tunggal. Dalil sifat ini ada di dalam Al-Quran.

Artinya : “Dan Tuhanmu adalah Allah yang Esa, tiada Tuhan selain Dia, Pengasih dan Penyayang”
(Al-Baqarah:163)

Allah itu maha Esa, Allah itu satu. Satu itu kalau pada benda dapat dibelah-belah, tapi Allah tidak dapat dibelah-belah. Berarti satunya Allah juga berbeda dengan satunya makhluk. Satu secara makhluk berbeda dengan Esanya Allah. Satunya makhluk dapat dipecah dan dibagi-bagi, misalnya makhluk itu kalau dia tidak bergerak, dia akan diam. Kalau tidak diam dia akan bergerak. Itulah tabiah makhluk. Allah tidak dapat dikatakan gerak atau diam. Kita tidak tahu bagaimana, hanya Allah yang tahu.

Kalau ada yang kata Tuhan itu dua atau lebih artinya Tuhan-Tuhan itu lemah, sebab perlu dua. Yang satu separo dan perlu untuk saling tolong menolong. Ini bukan Tuhan. Katalah Tuhan-Tuhan itu tidak bergaduh, karena mereka berhikmah, tetapi Tuhan-Tuhan itu sudah bekerjasama, artinya lemah. Kalau lemah bukan Tuhan. Sifat kerjasama sifat hamba.

Kalau orang ingin besarkan diri, maka ia akan cari benda-benda yang ada pada dirinya dan tidak ada pada orang lain. Jadi kalau 2 atau lebih Tuhan sama-sama mempunyai sifat yang sama apa yang akan dibanggakan. Tuhan kalau tidak Esa walau mereka dapat berbaik-baik, artinya meletakkan Tuhan lemah. Salah satu sifat khusus Tuhan adalah Esa, tunggal, tidak boleh dipecah-pecah. Kalau dia seperti makhluk, dia bukan Tuhan. Itulah konsep Tuhan.

Qiyamuhu Binafsihi


QIYAMUHU BINAFSIHI


Tuhan Allah bersifat Qiyamuhu Binafsihi.

Artinya ialah bahwa Allah berdiri sendiri dan tidak memerlukan pertolongan orang lain, mustahil memerlukan pertolongan orang lain. Kalau Ia memerlukan pertolongan orang lain maka Ia adalah lemah, tidak sempurna dan tidak berhak menjadi Tuhan. Tuhan Allah Kuasa, gagah, tegak, berdiri sendiri, tidak memerlukan pertolongan siapapun juga. Ia sudah sempurna tidak memerlukan apa-apa.


Seandainya seluruh manusia sepakat untuk menjadi kafir dan tidak menyembahNya, kesempuraanNya tidak berkurang. Begitu juga bila seluruh manusia berpakat untuk menyembah dan mengabdikan diri kepadaNya, kesempurnaanNya tidak bertambah. Allah tidak memerlukan ibadah atau apa saja dari makhluk ciptaanNya. Sebaliknya merekalah yang berhajat dan memerlukan pertolongan dari Allah setiap saat.Tanpa pertolongan Allah tidak mungkin makhluk akan ada, hidup dan berbuat apa saja.

Allah ciptakan makhluk seperti manusia, gunung, sungai, binatang dan lain-lain setidak-tidaknya ada 2 tujuan:

Allah ingin memperlihatkan kebesarannya,
Allah tidak berhajat pada itu semua. Allah ciptakan berbagai bagai, tetapi Allah hanya bermaksud menunjukkan Allah Maha Besar, Maha Agung, Maha Hebat dan lain-lain.

Keperluan makhluk itu sendiri. Apa yang Allah ciptakan itu, faedahnya kembali pada makhluk bukan kepada Allah.

Dalil Allah bersifat Qiyamuhu Binafsihi ini dalam Al-Quran:

Artinya: “Bahwasanya Allah tidak memerlukan makhluk”
(Al-Ankabut: 6)

ALLOH mempunyai sifat Qiyamuhu Binafsihi, yang artinya ALLOH itu BERDIRI SENDIRI (TIDAK MEMBUTUHKAN PERTOLONGAN). Dengan demikian, mustahil Dia membutuhkan pertolongan, karena hanya makhluk-Nya saja yang membutuhkan pertolongan. Jika Dia membutuhkan pertolongan, itu artinya Dia lemah, dan tidak layak menjadi Tuhan.

ALLOH Maha Kuasa, Maha Gagah, tegak berdiri sendiri, tidak membutuhkan apapun atau siapapun juga. Hal ini diperkuat dengan ayat-Nya dalam surat Al Ankabut(29):6,“Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”

Mukholafatul Lilhawadits


MUKHALAFATUHU LIL HAWADITSI


Allah bersifat Mukhalafatuhu Lil Hawaditsi.
Artinya Allah berlainan dengan sekalian makhluk, mustahil Ia sama dengan makhluk yang Ia ciptakan. Kalau Allah serupa dengan makhluk, maka Ia bukan Tuhan lagi, karena itu mustahil (tidak mungkin) Ia serupa.

Allah Maha Besar, Tinggi, Agung dengan segala kebesaran, ketinggian dan keagungan-Nya, tidak ada suatu jua diantara makhluk yang menyerupai-Nya dalam kebesaran, ketinggian dan keagunganNya itu. Dalil sifat ini dalam Al-Quran:

Artinya:”Tiada yang menyerupai-Nya suatu juga Ia mendengar lagi melihat”
(Asy-Syura: 11)

Barang siapa yang mengatakan bahwa Allah duduk serupa duduk kita di atas kursi, atau turun serupa turun kita dari tangga atau mempunyai muka serupa dengan muka kita atau mempunyai kaki serupa kaki kita maka orang itu menentang dan ia akan menurunkan derajat Allah.

Seperti dikatakan Allah tidak sama dengan makhluk ciptaanNya. Bila kita faham kedudukan makhluk, tahu kedudukan barang ciptaan Allah kemudian kita tidak tahu bagaimana Allah, itulah ilmu. Kalau kita tahu bagaimana Allah , itu pembohongan bukan ilmu, artinya kita sudah sesat. Kalau sesat dari segi syariat kedudukannya mungkin haram saja. Ergitu juga sesat dari segi tasawuf. Tapi kalau sesat di sudut aqidah dapat mengakibatkan syirik.

Contoh perbedaan antara Allah dan makhluk:

1.Kalau makhluk berada dalam masa, Allah tidak ada dalam masa. Kalau makhluk terlibat dalam malam dan siang. Allah tidak terlibat dalam malam dan siang.

2.Allah juga tidak memerlukan ruang seperti makhluk. Sedangkan makhluk, kalau tidak berada di kanan, dia di kiti. Kalau tidak ada di atas dia di bawah. Kalau tidak berada di depan dia di belakang. Tapi Allah tidak begitu. Allah tidak bertempat. Dia tetap bersama kita di mana kita berada. Tapi dia tidak berada macam kita berada. Tidak pula dia diistilahkan jauh dan dekat mengikut ukuran benda. Jauhnya tidak berjarak, dekatanya tidak pula sempadan.

3.Tidak tahunya kita tentang Allah, itulah tahu, itulah arti ilmu. Berarti kita tahu tentang Allah. Kalau tentang makhluk tidak tahu, itu memang tidak tahu. Sedangkan tentang Allah, bila tidka tahu itulah pengetahuan.

4.Allah itu tidak terlibat dengan masa, sebab ia yang menciptakan masa. Sedangkan makhluk terlibat dengan masa.

Baqo


A. Pengertian Baqo.
Arti Baqo adalah kekal atau abadi, pengertiannya menurut ilmu Tauhid ada 3 makna :
a. Baqo Nisbi, kekal atau abadinya sesuatu karena disandarkan kepada yang lain, seperti ; besi lebih kekal jika disandarkan (dibandingkan) dengan kayu tapi bila dibandingkan dengan baja tidaklah lebih kekal.
b. Baqo Zamani, abadinya sesuatu yang tidak akhir tapi ada permulaannya dan terikat zaman, seperti abadinya kafirin di Neraka dan abadinya Mukminin di Surga, namanya Kholidin atau Abadal Abidin. Namun demikian keabadiannya tidak lebih dari Tahta Ma Syiyatillah yakni dibawah kehendak Allah.
c. Baqo Haqiqi, kekalnya sesuatu yang tidak ada permulaan, tidak ada khir, tidak terikat zaman dan bukan karena disandarkan kepada yang lain, yakni kekal dan abadinya Allah SWT.
Perbedaan antara Baqo Haqiqi dan Baqo Jamani, perhatikan firman Allah dalam surat 55, ar-Rohman ayat 27.
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُوالْجَلَلِ وَالآِكْرَامِ
Artinya : Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.

Perhatikan pula pada surat 23, al-Mukminum ayat 11 :
الَّذِيْنَ يَرِثُونَ الفِرْدَوْسَ هُمْ فِيْهَا خَلِيْدُوْنَ
Artinya : (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.
Materi kata yang dipakai pada surat ar-Rohman untuk Allah dengan kata Yabqo, dalam surat al-Mukminum untuk Mukminin dipakai kata Kholiduun, artinya sama kekal abadi, hanya kekalnya Allah Wajibul Wujud sedangkan kkekalnya Mukminin disurga adalah Mumkinul Wujud, karena ada dan kekalnya diciptakan Allah SWT.
B. Pandangan Hukum Syara' Terhadap Sifat Baqo.
Hukum Syara' memerintahkan kepada seluruh Mukallaf :

1. Mengitikadakan, dengan disertai ma'rifat kepada Baqo Haqiqi Allah SWT.
2. Mema'rifatkan Mustahilnya Allah tidak Baqo.
3. Mema'rifatkan mustahilnya makhluk mempunyai sifat Baqo Haqiqi, sebagaimana Firman Allah dalam surat 28, al-Qoshosh ayat 88 :
وَلاَتَدْعُ مَعَ اللهِ أِلِهَا ءَاخَرَ لاَاِلَهَ أِلاَّ هُوَ كُّلُ شَىْءٍهَالِكٌأِلاَّوَحجْهَهُ لَهُ الحُكْمُ وَأِلَيْهِ تُرْ جَعُونَ
Artinya : Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. Ayat ini menunjukkan bahwa pada umumnya makhluk akan hancur binasa, tetapi ayat ini ditakhsis dengan hadits Rasululloh SAW, yang menerangkan bahwa ada 8 macam yang tidak akan hancur :
1. Qolam.
2. Lauh Mahfudz.
3. ‘Arasy.
4. Kursi.
5. Surga.
6. Neraka.
7. Ruhani.
8. Pangkal ekor manusia (Sunda = cungcurungan).
Tiga macam perintah ini disertai dengan jaminan :
1. Diberi pahala abadi disurga, bagi yang mema'rifatkannya dan imannya dipandang sah (Mukmin Salim).
2. Bila tidak mema'rifatkan, akan diberikan siksa yang abadi di Neraka dan dipandang kafir.
C. Baqo disebut Salabiyyah.
Karena sifat Baqo menjadi sifat dengan tidak ada yakni tidak ada akhir dan tidak terikat zaman, dan tercabut dari Allah Maqulat Mata maka sifat Baqo tersebut kepada sifat Salabiyyah.

D. Nisbat Qidam dengan Baqo.
Nisbat atau hubungan sifat Baqo dengan sifat Qidam terbagi kepada 4 bagian:
1. Wajib Qidam dan Wajib Baqo, yaitu Dzat Alloh SWT.
2. Wajib Baqo tapi tidak Qidam, yaitu yang 8 macam tersebut di atas.
3. Tidak Baqo dan tidak Qidam, yaitu seluruh mahluk selain yang 8 macam yang tidak akan hancur.
4. Qidam tidak Baqo, yaitu ma'dunya mahluk sebelum maujud (tidak adanya mahluk sebelum diciptakan), tidak ada awal tetapi ada akhirnya dengan keberadaan mahluk.

E. Dalil sifat Baqo.
Apabila Allah tidak Baqo, pasti diakhiri dengan tidak ada, sedangkan yang diakhiri dengan yang ada adalah mumkinul wujud, oleh karena mumkinul wujud pasti didahului dengan tidak ada, perpindahan dari tidak ada kepada ada, pasti membutuhkan kepada pencipta untuk berada. Jadi kalau Allah tidak Baqo maka akan terjadi proses Daor dan Tasalsul seperti dalam sifat Qidam, sedangkan proses Daor dan Tasalsul adalah mustahil terjadi, maka Allah wajib Baqo.

Qidam


Qidam

Pendapat Sala Seorang!.
Dalam kamus – kamus Arab kata Qidam adalah lawan kata dari baru, yang bermakna; yang dahulu (lama). (Lihat Lisanul Arab 5/3552, Qamus Al – Muhith 3/506, Mukhtar Ash-Shihhah hal. 525, dan lainnya).
Sedang definisi Qidam untuk sifat Allah menurut ahli kalam adalah “Bahwa Allah Ta’ala tidak ada awal untuk keberadaannya dan IA tidak didahului dengan ketidak-adaan, adalah Allah ada dan tidak ada sesuatupun selain diri-Nya, kemudian IA menciptakan makhluk” (Iqtinash Al-Awaly Min Iqtishad Al-Ghazali, oleh DR. Muhammad Rabi’ Jauhari hal. 73).

Kata Qidam / Qadim dalam Al – Qur’an dan Sunnah
Ada empat tempat penyebutan kata Qadim dalam Al – Qur’an yaitu dalam surat (Qs. Yusuf: 95, Yasin: 39, Al – Ahqaf:11, dan Asy – Syu’ara:75 dsn 76). Lafadh Qadim yang ada pada empat tempat tersebut menunjukkan pada sifat bagi makhluk. (Kekeliruan yang dahulu, sebagai bentuk tanda yang tua, dusta yang lama, dan nenek moyangmu yang dahulu).
Sedang didalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah Saw apabila masuk masjid beliau berdoa: (Artinya): “Aku berlindung kepada Allah yang Maha Agung, dengan wajah – Nya yang mulia dan dengan kekuasaannya yang Qadim (terdahulu) dari syaithan yang terkutuk”. (HR. Abu Dawud) lafadh Qadim pada hadits ini menunjukkan pada sifat bagi kekuasaan Allah.

Manhaj Ahlus Sunnah dalam menetapkan nama – nama dan sifat Allah
Manhaj (metode) Ahlus Sunnah dalam menetapkan nama – nama Allah (Asmaul Husna) dan sifat – sifat – Nya adalah menetapkan nama – nama dan sifat – sifat yang telah ditetapkan oleh Allah Swt untuk diri – Nya atau yang ditetapkan oleh Rasul – Nya Saw, tanpa mengubah, tanpa meragukan, tanpa mempertanyakan, dan tanpa membuat permisalan.
Intinya, nama – nama Allah dan sifat – Nya adalah bersifat taufiqi. Tidak ada ruang untuk berpendapat atau ber – ijtihad di dalamnya. (Untuk mengetahui manhaj ahlus sunnah dalam asma’ dan sifat ini lihat “Aqidah At- Tauhid” oleh DR. Shalih Bin Fauzan hal. 63).

Qidam, sifat dari sifat – sifat Allah?
Tidak terdapat di dalam ayat Al – Qur’an bahwa Allah menamai atau mensifati diri – Nya dengan Qadim atau Qidam. Begitu juga tidak terdapat di dalam sunnah bahwa Rasulullah Saw menetapkan sifat Qidam Allah Ta’ala. Jika kita konsisten dengan metode ahlus sunnah dalam menetapkan nama – nama dan sifat Allah seperti yang kami sebutkan di atas maka secara tegas kita katakan bahwa Qidam bukanlah nama atau sifat dari Allah Swt.
Al – Qadi Ibnu Abi Al – Izz Al – Hanafy dalam Syarh Aqidah ath – Thahawiyah berkata: “para ahli kalam telah memasukkan kata Al – Qidam didalam nama – nama Allah, padahal ia bukanlah nama dari nama – nama Allah…”
Ar – Raghib Al – Ashfahany dalam kitabnya Al – Mufradat berkata: “Tidak terdapat satu kata pun dari Al – Qur’an maupun atsar yang shahih yang menunjukkan bahwa Qadim itu adalah sifat Allah, para ahli kalam menggunakan dan mensifatkan Allah dengan hal itu”.

Allah adalah Al – Awwal (yang awal)
Untuk menunjukkan bahwa Allah tidak didahului oleh apapun, yang keberadaannya tidak ada permulaannya maka Allah memperkenalkan diri – Nya kepada kita bahwa Dia adalah Al – Awwal (bukan dengan Qidam).
Allah Swt berfirman:
Artinya: Dialah yang awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin dan dia Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S: Al – Hadid: 3).
Al – Khatthabi berkata: “Al – Awwal berarti yang mendahului segala sesuatu, yang ada dan sudah ada sebelum adanya makhluk, yang karena itulah Dia berhak menyandang predikat pertama karena keberadan – Nya itu, yang tidak didahului dan dibarengi oleh apapun.” (Sya’n ad – Du’a:87).

Al – Awwal serupa dengan Qidam
Akan muncul sebuah pertanyaan: Bukankah istilah Al – Awwal ada keserupaan dengan istilah Qidam. Lalu mengapa kata Qidam tidak ditetapkan saja sebagai sifat dari sifat – sifat Allah? Jawabnya: yang pertama, karena kita konsisten dengan manhaj Ahlus sunnah. Yang kedua, jika benar sifat Al – Awwal serupa dengan Qidam(padahal keduanya memang ada perbedaan, seperti yang dinyatakan oleh Abu Al – Izz Al – Hanafy) maka tetap ia tidak dapat digunakan untuk menetapkan nama atau sifat Allah. Al – Khatthabi berkata: “Analogi tidak berlaku terhadap nama – nama Allah, dalam pengertian, menyejajarkan sesuatu dengan sejenisnya, dengan pertimbangan aturan bahasa dan logika kalimatnya”. (Sya’n ad – Du’a: 111).
-------------------------------------------------------------
Qidam (Terdahulu)
Allah itu Qidam (Terdahulu). Mustahil Allah itu Huduts (Baru).
“Dialah Yang Awal …” [Al Hadiid:3]
Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Allah yang menciptakan langit, bumi, serta seluruh isinya termasuk tumbuhan, binatang, dan juga manusia.
“Yang demikian itu adalah Allah, Tuhanmu, Pencipta segala sesuatu..?” [Al Mu\'min:62]
Oleh karena itu, Allah adalah awal. Dia sudah ada jauh sebelum langit, bumi, tumbuhan, binatang, dan manusia lainnya ada. Tidak mungkin Tuhan itu baru ada atau lahir setelah makhluk lainnya ada.
Sebagai contoh, tidak mungkin lukisan Monalisa ada lebih dulu sebelum pelukis yang melukisnya, yaitu Leonardo Da Vinci. Demikian juga Tuhan. Tidak mungkin makhluk ciptaannya muncul lebih dulu, kemudian baru muncul Tuhan.
3. Baqo’ (Kekal)
Allah itu Baqo’ (Kekal). Tidak mungkin Allah itu Fana’ (Binasa).
Allah sebagai Tuhan Semesta Alam itu hidup terus menerus. Kekal abadi mengurus makhluk ciptaannya. Jika Tuhan itu Fana’ atau mati, bagaimana nasib ciptaannya seperti manusia?
“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati…” [Al Furqon 58]
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” [Ar Rahman:26-27]
Karena itu jika ada “Tuhan” yang wafat atau mati, maka itu bukan Tuhan. Tapi manusia biasa.
Hikmah: Jika kita mencintai Allah yang Maha Kekal dan selalu ada dan menjadikanNya teman serta pelindung, niscaya kita akan tetap sabar meski kehilangan segala yang kita cintai.
---------------------------------------------------
QIDAM (a.) dalam kosakata teknis keabadian menunjukkan filsafat dan teologi. Ini harus dibedakan dari azal dan dari [qv] abad. Al-Tahanawi menulis: 'azal adalah konstan durasi eksistensi di masa lalu, seperti abad adalah waktu yang konstan di masa depan. " Berbeda dengan asal temporal (huduth), itu adalah fakta yang telah didahului dengan tidak ada yang lain (al-la masbuqiyya l bi '-ghayr): azal berarti negasi dari awal pertama (najy al-awwaliyya), yang karena itu kasus keabadian sebuah ante parte, dan abad adalah keabadian posting parte. Azal dan abad pada dasarnya identik dalam Allah (inna abaduhu 'ain azalihi), karena mereka berarti bahwa dua kaki relatif yaitu awal dan akhir keduanya' terputus 'dari Allah (inqita' anhu al-tarafayn al-idafiyyayn ' ). Untuk Dia mereka adalah atribut negatif (lih. Fakhr al-Din al-Razi, komentar onqthe Terindah Nama Allah, surah VII, 180;. Azali dan qadim diklasifikasikan antara atribut nyata dan negatif Pertama, awwal dianggap sebagai nyata, disertai dengan hubungan dan negasi (Sifa haqiqiyya ma'a 'l-idafa wa' l-salb). Dia adalah abadi, dalam arti Azali, yang tidak didahului oleh ketiadaan, apa yang ada sebelum konsepsi rasional awal pertama (qabla ta'aqqul al-awwaliyya), dan dalam arti abadi, yang berlangsung melampaui semua konsepsi rasional dari sebuah kata yang akhir (ta'aqqul ba'da al-akhiriyya). Melalui berbagai definisi ada datang ke cahaya dua konsepsi pra-keabadian dan pasca-keabadian. Yang pertama adalah bahwa durasi tak berujung (la nihayata lahu) yang membentang baik terhadap masa lalu, atau menuju masa depan (dalam hal ini juga dikenal sebagai al-la-yazal, yang tidak berhenti menjadi) Skema ini (lih.. bawah) menimbulkan banyak kesulitan dalam pemecahan masalah penciptaan dunia, karena memperkenalkan konsep waktu tak terbatas sebelum saat penciptaan ini. Yang kedua lebih filosofis: dua kekekalan tidak lebih dari konsepsi negatif, yang berpikir kontemplatif telah jalan untuk memahami ide kekekalan dalam kaitannya dengan waktu, tapi yang tidak sesuai dengan realitas waktu yang tidak terbatas dalam dua pengertian: mereka relatif ke modus pemikiran milik
roh manusia, yang sebagai poin-poin al-Razi (lih. bawah), tidak bisa membayangkan itu sendiri di luar waktu. Realitas yang tersembunyi di balik konsep-konsep imajiner adalah bahwa Allah dan subsisten Nya melalui Zat-Nya (baqa'uhu bi-dhatihi), yaitu, dari yang benar-benar tidak terpengaruh oleh waktu dan temporalitas.

Jadi, apa menunjukkan qidam? Secara etimologis, istilah harus dikaitkan dengan azal karena merupakan akar mengekspresikan ide tentang kejuaraan. The LA mengatakan itu persis sama seperti al-Tahanawi berkata tentang azal: "Ini adalah bertentangan asal temporal (naqid al-huduth) '. Ibnu Manzur juga menjelaskan melalui 'ataqa dan sabaqa akar (' mendahului dalam perlombaan '). Harus sebenarnya dicatat bahwa gagasan anteriorness dalam waktu atau ruang dihubungkan dengan yang senilai unggul, seperti yang akan muncul dari qadam substantif dan dari al-Qur'an nya: sidq qadam (X, t) yang menafsirkan al-Zamakhshari sebagai sabiqa wa-fadl wa-manzila rafi'a, prioritas, tempat tinggal yang lebih tinggi bahwa Allah sedang mempersiapkan orang-orang mukmin. Penjelasan lain adalah bahwa di muka hadiah telah dipersiapkan untuk mereka pada bagian Allah (sabaqa lahum qad 'Allahkhayr ind) yang menyatukan dua ide-ide anteriorness dan keunggulan karunia-karunia ilahi. Bisa dicatat lebih lanjut, sehubungan dengan qadam ('langkah', mana fakta menjadi selangkah lebih maju dari orang lain, didahulukan) bahwa LA, serta Al-Qurtubi dalam komentarnya, mengutip ayat-ayat dari l Ju ' -Rumma [qv] di mana ekspresi mentalitas Badui dapat dilihat: qadam dikaitkan sana dengan bangsawan tinggi dan tindakan kemegahan (mafakhir). Karena kualitas etika Badui yang pada umumnya dialihkan oleh Islam kepada Tuhan, itu wajar mungkin boleh dianggap bahwa akar qDM dilayani tidak hanya berkonotasi pada anteriorness Allah, tetapi juga ontologis pre-eminence Nya atas segala sesuatu, sementara itu harus dibuat jelas bahwa ini bukan suatu kejuaraan dan bukit-pra relatif terhadap orang lain, seperti dalam kasus mufakhara yang menyiratkan persaingan, tapi kualitas yang transendental dan mutlak. Hal ini dalam pengertian ini bahwa LA mengatakan bahwa Allah adalah al-Muqaddim, karena ia mendahului segala sesuatu (yuqaddim al-ashya ') dan Dia menempatkan mereka di tempat mereka (yada'uha fi mawadi'iha). Tetapi qidam syarat dan qadim dalam arti keabadian dan theqeternal, adalah ciptaan teknis (istilahat), mereka tidak Alquran. Abd al The kadi '-Jabbar, dalam Syarah, menulis bahwa menurut prinsip-prinsip qadim bahasa yang telah ada untuk waktu yang lebih lama daripada sesuatu yang lain (ma taqadama wudhudhuhu) dan dia mengutip ayat (XXXVI, 39) dimana Allah membandingkan bulan ke kelapa tua (l-'urdhun al ka '-qadim). Sedangkan untuk qidam kata, tidak terjadi di qur'an itu. Buku mengungkapkan menyampaikan ide kekekalan ilahi melalui transendensi. Allah adalah al-Muta'ali (XIII, 9), dan nama ini, menurut al-Razi, milik dia atas dasar bahwa ia adalah benar-benar dihapus (munazzah) pada intinya Nya, dalam sifat-sifat-Nya dan tindakan-Nya dari semua yang mungkin tidak menegaskan tentang Dia. Karena itu, Dia berada di luar waktu, Kekal, dan dengan demikian bahwa istilah qadim, yang diambil benar-benar (al-qadim) menunjukkan Tuhan sendiri.

Al-Tahanawi juga membuat qidam kebalikan dari [qv] huduth. Kedua istilah atribut menunjukkan eksistensi dan belajar bersama. Essence (mahiyya) adalah ahli dalam hal kualifikasi keberadaan yang bersangkutan. Mereka dapat diterapkan dalam ketiadaan, menurut apakah itu didahului oleh adanya atau tidak, sehingga seseorang bisa berbicara tentang suatu kehampaan abadi atau ketiadaan yang dihasilkan dari penghapusan. qidam dan huduth dapat diambil sesuai dengan realitas
(Haqiqiyyan) atau menurut hubungan (idafiyyan).

1.

kekekalan Real terdiri dalam fakta tidak didahului oleh hal lain menurut sebuah kejuaraan yang sangat penting dan tidak temporal. Ini adalah apa yang dikenal sebagai kekekalan penting (dhati qidam), yang terdiri dalam kenyataan membutuhkan apa pun selain diri dalam rangka ada. Ini menyiratkan pentingnya yang sedang. The Abadi dalam pengertian ini adalah yang diperlukan Menjadi. Sebaliknya, asal (huduth) adalah fakta yang telah didahului oleh sesuatu yang ada
menurut sebuah kejuaraan penting, yang dalam hal ini mungkin atau mungkin tidak juga menjadi kejuaraan temporal (misalnya, dunia pada dasarnya adalah hasil dari suatu asal, itu muhdath, tapi tidak ada yang mendahului waktu, manusia juga dasarnya melahirkan, tetapi orangtuanya ada di waktu sebelumnya untuk kelahirannya). Dalam arti tertentu, waktu adalah hasil asal suatu (hadits), karena jika telah didahului dengan apa-apa yang bisa telah ada sebelum secara temporal, yang masuk akal
hipotesis, tidak memiliki keberadaan mutlak diperlukan Menjadi dan pada setiap saat memperbaharui dirinya sendiri. Hal ini mungkin untuk memahami secara khusus oleh keabadian fakta tidak didahului oleh tidak adanya suatu kejuaraan temporal: ini maka akan dipanggil kekekalan temporal (Zamani qidam), dan kekal dalam segi waktu karena itu 'bahwa yang waktu keberadaan tidak memiliki awal pertama. Demikian pula, orang dapat berbicara tentang asal temporal (Zamani huduth) di mana keberadaan yang didahului oleh non-eksistensi dalam waktu. Jadi kita mendefinisikan bahwa yang merupakan buah dari asal temporal (al-hadits al-Zamani) sebagai yang didahului dalam waktu oleh non-keberadaannya, sesuai dengan rumus terkenal: lam yakun, tsumma kana ('itu adalah tidak, maka itu terjadi '). Dalam pengertian ini, waktu tidak hadits karena tidak ada yang bisa pra-ada itu sendiri.

Adapun qidam relatif, ini menunjukkan bahwa waktu masa lalu keberadaan yang lebih besar daripada keberadaan lainnya. Namun hal ini tidak dapat disampaikan oleh kata keabadian. Ini menyangkut kuno dari yang dibandingkan dengan hal-hal baru lain, dan qadim berarti kuno, tua, Atiq seperti '. Sebaliknya, huduth akan kebaruan, hadits, bahwa yang baru.

Al-Tahanawi menambahkan bahwa keabadian lebih penting tertentu (akhass) dari keabadian temporal, yang pada gilirannya lebih khusus dari kekekalan relatif atau kuno. Dengan demikian diperlukan Menjadi, yang qadimdhati, juga kekal menurut titik pandang temporal, karena tidak didahului oleh ketiadaan atau dengan apa yang selain itu sendiri. Tetapi sebaliknya tidak benar: sehingga atribut abadi Menjadi, yang tidak didahului oleh ketiadaan karena mereka adalah concomitants esensi yang abadi, tidak kekal dalam diri mereka sendiri dan tidak memiliki dhati qidam. Hal yang sama dapat dikatakan dari dunia yang qadim Zamani menurut filsuf, tetapi yang tidak qadimdhati Namun, karena tergantung pada penyebabnya, yang selain itu sendiri. Adapun idafi qidam, tidak co-luas dengan Zamani qidam. Bahkan, masa lalu keberadaan seorang mungkin lebih besar dibandingkan dengan yang kemudian terjadi untuk pertama kalinya. Ini berlaku untuk ayah yang qadim dalam hubungannya dengan anaknya, tetapi siapa yang tidak demikian Zamani qadim, karena ia lahir dari orang tua Jadi jika kita membandingkan dunia untuk seorang pria, kedua memiliki sejarah yang terdiri dari acara berturut-turut. Sehubungan dengan salah satu kejadian, masa lalu dunia dan manusia ini berlangsung selama waktu yang lebih besar dari terjadinya baru. Masing-masing dari mereka itu akan disebut qadim dalam kaitannya dengan hal itu. Mereka berdua idafi qadim. Tetapi dunia tidak hanya qadim dalam konteks ini: begitu dalam dirinya sendiri, karena tidak pernah ada waktu dimana tidak ada. Manusia hanya qadim dalam hubungannya, misalnya, untuk hal ayah-Nya: pasti dia mendahuluinya, tetapi justru menurut antecedence yang hanya relatif untuk itu. Sebaliknya, dalam konteks asal-usul, adalah idafi huduth yang paling khusus, kemudian datang Zamani huduth dan dhati akhirnya huduth. Hal ini karena segala sesuatu yang keberadaannya di masa lalu mencakup waktu kurang bentang (aqall: artinya idafi hadits) didahului oleh ketiadaan, dan karenanya Zamani hadits. fortiori A, itu adalah dhati hadits. Analisis ini jelas dipengaruhi oleh pikiran para filsuf yang cenderung keabadian mengasosiasikan dengan kebutuhan ontologis dari wadhib al-wudhud dan huduth dengan kontinuitas. Teolog hanya dipahami oleh qadim yang tidak didahului oleh ketiadaan, atau dalam kosakata al-Tahanawi, Zamani qadim.

Untuk apa gagasan keabadian berlaku? qidam berhubungan pertama esensi Allah. Pada titik ini semua filsuf dan ulama berada dalam perjanjian. Pada pertanyaan tentang keabadian atribut Allah, ada perbedaan pendapat di antara mutakallimun tersebut. Allah adalah kekal karena Ia tidak tunduk pada asal, dan yang, tidak bisa lain selain muhdath atau qadim. Jadi, jika Allah telah dikenakan asal, dalam rangka ada Dia akan membutuhkan makhluk lain untuk menciptakan padanya, muhdith sebuah. Tetapi pertanyaan itu akan berlaku untuk yang kedua juga dan seterusnya hingga tak terbatas. Jadi kita harus menegaskan keberadaan Allah sebagai Pencipta yang kekal, seperti yang diungkapkan oleh 'Abd al-Jabbar (al-'ani' al-qadim). Argumen ini, yang dikenakan tanda filosofis, bukan milik eksklusif dari Mu'tazilis. Hal ini ditemukan dalam kondisi yang sama atau serupa dalam Kitab al-Tamhid al-Baqillani, dalam bab di mana ia menunjukkan bahwa agen yang menghasilkan makhluk tunduk pada asal (fa'il al-muhdathat) tidak dapat sendiri menjadi buah dari asal. Hal ini ditemukan dalam Kitab al-Irshad al-Juwayni, di mana ia membuktikan bahwa keberadaan Abadi 'tidak melantik sendiri' (¸ wudhu muftatih ghayr al-qadim), di tempat yang sama dia memberikan pengamatan yang menarik dan tepat pada konsep sebuah keberadaan yang tidak memiliki awal: apakah ini tidak berarti suatu suksesi momen tak terbatas? Dia repliesqthat saat hal didefinisikan oleh fakta bahwa kontemporer dengan hal-hal lain. Sekarang Allah tidak kontemporer dengan hal lain. Jadi kekekalan Allah tersirat oleh keunikan nya.
SWASTA

Sekolah Asy'ari mengakui keabadian atribut ilahi. Sebaliknya, para Mu'tazilis mengungkapkan prinsip utama bahwa 'Tuhan ada co-kekal', menurut rumus 'Abd al-Jabbar dalam Syarah (la qadima ma' Allah). Meskipun demikian, mereka mengakui yang kekal empat atribut: eksistensi, kehidupan, pengetahuan dan kekuasaan. Bahkan, menurut al-Jubba'i dan mayoritas orang-orang terpelajar dari sekolah, ini tentu empat atribut milik Allah melalui esensi-Nya, karena itu mereka juga abadi. Pengetahuan Nya tindakan-Nya berada di pengetahuan (Aliman kawnuhu ') dan yang sama berlaku untuk Sifat lain. Atau, Dia tahu melalui pengetahuan yang sendiri (Abu 'l-Hudhayl), dll Mereka tidak mengatakan bahwa Ia memiliki pengetahuan yang kekal, tetapi ia tidak berhenti menjadi dalam tindak pengetahuan (lam yazal' Aliman), dll 'Abbad b. Sulaiman menolak untuk mengatakan bahwa Allah memiliki pengetahuan, ada lebih dari Dia memiliki kekekalan (qidam), tetapi dapat dikatakan bahwa Dia adalah kekal (qadim). Sebaliknya, Ibnu Kullab berpikir bahwa Allah adalah dalam tindak pengetahuan melalui pengetahuan milik-Nya, dan seterusnya. Untuk mengatakan bahwa Dia adalah kekal, adalah untuk menegaskan bahwa Dia tidak berhenti menjadi dalam Nama-Nya dan Atribut (lam yazal bi-asma'ihi wa-sifatihi; Maqalat). Esensi Allah saja yang kekal, bukan dalam arti bahwa hal itu dilucuti dari semua atribut, tetapi sebaliknya, berpakaian dalam semua milik Allah. Sebagian dari murid-muridnya mengklaim bahwa Allah adalah kekal melalui kekekalan (qadim bi-qidam), yang lain bahwa Dia adalah kekal, tetapi bukan melalui suatu kekekalan (qadim la qidam-bi). Kita mulai berurusan di sini dengan seluk-beluk murni bahasa, seperti dalam perbedaan antara dua ekspresi 'Allah tidak lagi menjadi' dan 'Allah tidak lagi menjadi melalui atribut abadi keabadian. " Sebuah bagian dari Maqalat layak pemberitahuan, namun; 'The pendukung teori atribut (ashab al-Sifat) berbeda pendapat mengenai atribut Sang Pencipta: mereka kekal atau memiliki suatu asal mereka? Beberapa orang mengatakan bahwa mereka kekal. Lain menyatakan: "Jika kita berkata, bahwa Sang Pencipta adalah abadi dalam sifat-sifat-Nya, kita tidak perlu untuk mengatakan bahwa atribut-Nya adalah kekal, sehingga kita tidak mengatakan bahwa mereka kekal, atau bahwa mereka memiliki sebuah asal." Menurut al-Tahanawi, Abu Hasyim menambahkan atribut kekal kelima dengan empat di atas; kekudusan (al-ilahiyya), yang berbeda dari esensi. Hal ini mengingatkan pada divinitas teolog abad 1tth dari Chartres, Gilbert de la Porree. Hal ini tidak diragukan lagi ini tesis bahwa 'Abd al-Jabbar menyinggung ketika ia menulis bahwa, menurut Abu Hashim, atribut-atribut milik Allah selalu, dan karena itu yang ia menegaskan pada intinya nya (li-ma Huwa' alayhi fi dhatihi). Jadi melalui keilahian bahwa atribut-atribut ini abadi. Untuk Sulaiman b. Jarir dan lain ifatiyya, atribut-atribut milik Allah selalu harus melalui 'gagasan (li-Ma'ani) yang dapat dikualifikasikan tidak oleh keberadaan maupun non-eksistensi, atau dengan asal atau kekekalan' (Syarah). Ini adalah konsep atribut nosional (Sifa ma'nawiyya), istilah yang telah diterjemahkan beragam seperti 'penting', 'kualitatif', atau bahkan 'entitative'. Hal ini tidak lain dari kualifikasi yang dibuat perlu oleh gagasan bahwa seseorang memiliki Allah. Ma'na selalu merupakan gagasan menandakan fundamento cum di ulang. The ma'nawi atribut karena itu tidak esensi, juga bukan 'sesuatu' di dalam Allah. Ini adalah yang realitas tuntutan Allah yang satu saysqof Allah. Tapi, di sini juga, bahwa yang kekal adalah Allah dan esensi-Nya, dan ma'nawiyya Sifa lolos semua alternatif ontologis. Namun demikian, menurut 'Abd al-Jabbar, murid-murid tertentu dari Ibnu Kullab tereifikasi yang Ma'ani dan menganggap mereka akan kekal, karena mereka empat atribut tersebut yang dipasang pada Allah dengan cara yang azaliyya Ma'ani, yang dapat diterjemahkan 'entitas yang abadi' oleh. (Kita dapat mencatat Abd al dengan '-Jabbar bahwa di sini Azali memiliki rasa qadim, seperti yang sering terjadi). Kadi menunjukkan bahwa Kullabiyya tetapi tidak berani menggunakan formula ini dalam pengertian mutlak, agar tidak bertentangan dengan kebulatan suara kaum muslimin atas penolakan atribut co-kekal.

Dari akar yang sama dengan qidam adalah bentuk masdar 5, taqaddum, yang terjadi pada sebuah komentar yang sangat menarik dengan Razi pada qur'an, LVII, 3: "Dia adalah Pertama dan Terakhir '. The taqaddum kata (antecedence) memiliki beberapa arti: (1) l al-taqaddum bi '-ta'thir mana yg latihan pengaruh atas akibatnya, misalnya, pergerakan jari mensyaratkan bahwa cincin, (t) al-taqaddum bi 'l-hadha, berdasarkan kebutuhan yang konsekuen memiliki pendahuluan tersebut; sehingga satu nnumber adalah anterior ke nomor dua tanpa penyebabnya, (3) al-taqaddum bi' l-syaraf, menurut layak; sehingga Abu Bakar memiliki hak lebih 'Umar; (4) al-taqaddum bi' l-martaba, menurut urutan hirarkis, baik masuk akal, seperti tempat imam dalam doa-doa sebelum beriman yang berdoa, atau rasional, seperti tempat genus sehubungan dengan spesies; (5) al-taqaddum bi 'l-Zaman, kejuaraan temporal atau qabliyya; yang al-Razi menambahkan (6) "Tetapi saya pikir bahwa ada divisi keenam yang adalah seperti kejuaraan bagian waktu tertentu dalam kaitannya dengan orang lain; kejuaraan ini tidak sementara, jika tidak maka akan diperlukan waktu untuk mengembangkan waktu lain, ke titik tak terhingga. Jadi sekarang akan berada dalam hadiah lain yang akan berada dalam hadiah ketiga ... dan semua hadiah ini akan hadir pada saat sekarang (kulluha hadira fi l hadha '-an). Tetapi ansambel saat ini akan posterior ansambel momen masa lalu, sejauh bahwa akan ada waktu lain untuk ansambel kali (al madhmu '-azmina), yang masuk akal, untuk, yang waktu, itu akan harus masuk ke dalam ansambel kali. Akibatnya, itu akan baik di dalam dan luar ansambel ini, yang tidak mungkin. 'Selain itu, kejuaraan ini bagian waktu dalam hubungannya dengan satu sama lain bukanlah suatu kejuaraan menurut kausalitas, atau sesuai kebutuhan, jika tidak mereka akan co-exist, jelas itu tidak sesuai dengan layak, tidak sesuai dengan ruang. Oleh karena itu jenis taqaddum keenam. Sekarang menunjukkan qur'an bahwa Allah adalah Pertama (Primus, bukan sebelumnya) untuk semua yang tidak Nya, dan menunjukkan al-Razi di sini bahwa kualifikasi ini hanya cocok yang diperlukan, pertama dan Menjadi unik, untuk semua yang tidak mungkin Dia adalah (mumkin) dan mungkin ada hanya melalui asal: itu adalah muhdath. Tapi apa adalah sifat ilahi kejuaraan ini? Hal ini tidak berutang kepada tindakan pengaruh, untuk agen dan pasien adalah salah satu relatif terhadap yang lain dan co-ada. Ini bukan prioritas didirikan pada kebutuhan, sejak diutamakan di sini adalah mutlak. Ini bukan didahulukan utang terhadap kekayaan, untuk itu tidak bisa dikatakan bahwa Allah lebih pantas atau lebih mulia (Ashraf) dari mungkin, karena Dia tidak sebanding (meskipun dalam satu sisi, adanya diperlukan menyiratkan kegenapan yang selain yang keberadaan yang mungkin kekurangan). Adapun anteriorities menurut waktu atau ruang, mereka tidak memiliki makna bagi Allah, karena waktu dan ruang possibles yang tergantung pada sebuah asal. Allah, yang anterior ke totalitas kali, tidak anterior sesuai dengan waktu, jika tidak kejuaraan ilahi harus masuk ke dalam ansambel kali, karena akan menjadi satu waktu; tetapi harus eksterior untuk itu, karena akan berisi mereka semua dan yang mengandung adalah selain dari apa yang terkandung.
Ini akan menjadi sebuah absurditas. Rupanya al-Razi mengusulkan, sejauh menyangkut Tuhan, semacam keenam kejuaraan yang tidak tanpa analogi ke anteriorities bagian waktu dalam hubungannya dengan satu sama lain. Namun, ini tidak identik dan itulah sebabnya al-Razi, ketika memperkenalkan divisi keenam, tidak mengatakan itu, tetapi hanya bahwa itu seperti ... Kesimpulannya, kita tahu bahwa Allah adalah Pertama secara universal ('ala sabil al-idhmal), tidak secara rinci (' ala sabil al-tafsil). Sedangkan untuk menangkap realitas prioritas ini (awwaliyya), kecerdasan manusia tidak berarti, karena mereka tidak dapat melarikan diri bentuk temporal. Kita dapat mencatat bahwa pembagian serupa taqaddum harus
ditemukan di filsuf al-Maqasid al-óhazali, kecuali bahwa taqaddum yang bi 'l-hadha disebut taqaddum bi' l-tab ', dalam kasus di mana yg tidak ditekan oleh penindasan dari konsekuensi, tapi konsekuen ditekan oleh penindasan dari yg (seperti dengan serangkaian angka), dan kecuali bahwa taqaddum bi 'l-ta'thir menyandang nama taqaddum bi' l-Dhat (dalam hubungan menyebabkan efek).

Doktrin keabadian dunia [lihat abad] dikuatkan dalam Islam hanya oleh filsuf tersebut, langsung mengikuti sistem pemikiran para filsuf Yunani: Plato, Aristoteles, Philo dari Alexandria, Proclus, dan John Philoponos yang tatabahasa. Para Tahafut dua al-Ghazali dan Ibn Rusyd dari kesepakatan dengannya dalam mode rinci. Argumen mendasar adalah bahwa tidak mungkin untuk hamil awal yang temporal bagi dunia, saat waktu di mana ia
diciptakan, sedemikian rupa sehingga waktu kosong mendahului penciptaan. Bahkan, jika, seperti Aristoteles mempertahankan, waktu merupakan pengukuran numerik gerakan (sebuah teori diambil oleh filsuf, lihat haraka), gerakan menuntut hal yang bergerak, menggerakkan tubuh, dunia fisik dan khususnya bintang-bintang, maka mungkin waktu untuk telah ada sebelum adanya dunia. Selanjutnya, jika ada, itu akan abadi atau diciptakan. Tapi kekekalan tidak sesuai dengan waktu yang berubah dan elapsing (sayalan): masing-masing bagiannya yang baru dalam hubungannya dengan bagian sebelumnya, dan waktu memperbaharui sendiri (yatadhaddad) dalam setiap satu dari instants nya. Jika waktu adalah hadis dalam setiap komponen, itu memiliki semua alasan karena begitu dalam totalitasnya. Jadi diciptakan: tapi kemudian masalah muncul: itu dibuat dalam waktu dan melakukan waktu ada sebelum waktu? Itu tidak masuk akal. Ini adalah argumen yang diambil pada bagian dunia. Pada bagian dari Allah, diberikan penciptaan temporal, apa yang Sang Pencipta lakukan sebelum membuat. Apakah Dia tidak aktif? Itu bukan sifatnya dan ditulis (II, t55) 'keletihan Baik dan tidak tertidur memegang-Nya' itu. Selain itu, jika Dia pertama kali aktif, maka aktif, perubahan akan terjadi di dalam Dia, yang tidak dapat diterima. Apa yang akan diinduksi-Nya untuk menciptakan pada saat ketika Ia melakukan ciptaan-Nya? Sebuah muradhdhih, sesuatu yang bisa memutar skala dalam arti tindakan penciptaan? Tapi muradhdhih ini kekal atau diciptakan. Jika abadi, dunia juga harus kekal, kecuali beberapa hal lain yang bisa mencegah muradhdhih ini dari akting, ini dikenal sebagai muradhdhih tark al-. Tark ini pada gilirannya akan dibuat atau diciptakan. Jika adalah abadi, pasti ada, untuk penciptaan telah terjadi, intervensi aqtark muradhdhih tark al-, dan sebagainya. Jika sekarang muradhdhih dibuat, pertanyaan berlaku untuk sebagai kepada dunia.

Untuk bagian mereka, para teolog yang percaya pada penciptaan dunia dalam objek waktu dengan alasan bahwa jika dunia adalah abadi, tidak memiliki awal, tidak pernah tidak ada lagi dan akibatnya itu telah ada untuk waktu yang tak terbatas. Sekarang, menurut prinsip Aristoteles, adalah mustahil untuk melintasi waktu tak terbatas. Jika ada yang tak terbatas instants untuk melintasi untuk sampai pada saat yang sekarang ini yang ada, tidak mungkin untuk tiba di sana dan itu tidak ada. Ini adalah suatu kontradiksi. Alasan yang sama dibuat dalam mempertimbangkan rantai tak terbatas menyebabkan: efek yang ada saat ini tidak mungkin ada. Kesulitan muncul dari asimilasi dari kekekalan untuk waktu tak terbatas. Tetapi untuk mengatakan bahwa dunia adalah abadi adalah untuk menegaskan bahwa sementara sisanya di bagian dalam dunia dan waktu yang terkait dengan dunia, satu tidak akan pernah menemukan momen yang bisa menjadi awal pertama. Satu akan perlu kembali tanpa batas, tetapi tidak sampai tak terhingga: dengan kata lain, kita berhadapan disini dengan waktu yang tidak terbatas, atau dalam bahasa Aristoteles, dengan tak terbatas pada kekuasaan, bukan yang tak terbatas dalam tindakan. Singkatnya, keberatan mengandaikan bahwa ungkapan 'tidak memiliki permulaan dalam waktu' berarti 'memiliki permulaan dalam waktu tak terbatas. " Selain itu, infinity mungkin dapat dilalui jika berisi; antara dua titik pada
baris, jumlah tak terbatas titik dilalui. Ibnu Sina tampaknya telah diselenggarakan pandangan ini berkenaan dengan masalah penyebab pertama, analog dengan masalah awal pertama. Jika seseorang mempertimbangkan ansambel (dhumla) penyebab dalam dunia ini, jelas bahwa setiap salah satunya adalah sekaligus sebab dan akibat. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa memasukkan ke dalam ansambel ini merupakan penyebab pertama yang akan tanpa sebab. 'Setiap ensemble yang masing-masing unit adalah efek yang disebabkan tuntutan menyebabkan
eksterior untuk unit 'ini. Dalam hipotesis dari rantai sebab-akibat 'setiap seri terdiri dari penyebab dan dampak, baik terbatas atau tak terbatas, menunjukkan dirinya sendiri, jika mengandung dalam dirinya sendiri hanya disebabkan efek, membutuhkan penyebab yang eksterior untuk itu, tetapi jelas dalam kontinuitas dengan , seperti dengan batas ( tattasilu tarafan biha ) '. Jika komponen ensemble ini tidak terbatas, maka kita berhadapan dengan ensemble tak terbatas terbatas. Artinya, bahwa dalam mencari penyebab pertama, akan terlihat untuk berdiri keluar sebagai batas kepada tuhan yang berpikir tidak pernah dapat mencapai dan ke arah yang berjuang. Tetapi tindakan yang tidak perlu melintasi diskontinuitas terbatas sebab dan akibat dalam rangka untuk bertindak hik et nunc, karena, seperti Ibnu Sina menunjukkan 'setiap penyebab sebuah ensemble yang bukan salah satu unit ansambel yang ada di pertama tempat penyebab unit ini dan dalam menyebabkan konsekuensi dari ensemble. " Tersebut merupakan salah satu poin Ibnu Sina pandang pada pertanyaan ini, menurut Isharat . Lain keberatan terhadap teori keabadian dunia didasarkan pada astronomi. Kami memiliki contoh dalam Fisal Ibn Hazm. Setelah menyatakan bahwa ke satu waktu tak terbatas dapat menambahkan apa-apa, dan memiliki demikian menunjukkan bahwa tak terhingga abad untuk datang menambahkan tidak ada tak terhingga abad berlalu, Ibn Hazm menulis: "Dalam orbit lingkaran nya, Saturnus membuat satu revolusi di tiga puluh tahun, dan tidak pernah berhenti untuk mengubah. Lingkungan terbesar, dalam tiga puluh tahun, membuat sekitar revolusi, dan tidak pernah berhenti untuk mengubah. Sekarang melampaui segala revolusi keraguan lebih besar dari satu saja. Akibatnya, yang tak terbatas akan mencapai sekitar kali lebih besar dari yang tak terbatas, yang tidak masuk akal. " Ini adalah variasi penting pada tema yang sama: asimilasi dari kekekalan untuk waktu tak terbatas. Alasan Ibn Hazm adalah cerdas, tetapi mengabaikan kekuasaan tak terbatas.

Dan apa akhir dunia? Plato terpisah, para filsuf menganut pandangan bahwa yang memiliki awal memiliki akhir, dan secara bersamaan yang memiliki awal tidak ada akhir. Dari perspektif kreasionis, satu bisa, bagaimanapun, mengakui bahwa Allah tidak akan menghancurkan apa yang Dia telah menciptakan, sedemikian rupa sehingga dunia bisa saja diciptakan, tetapi abadi pos parte. Bagi para filsuf, alam semesta tidak dapat binasa, tetapi bagian dari itu mungkin hilang. Bagi para teolog yang percaya di akhir dunia, masih ada surga dan neraka yang kekal dalam arti abadi, bahkan, ada tertulis bahwa Terpilih dan the Damned akan tinggal di sana kekal (khalidun FIHA hum, sebagai qur ini 'yang mengatakan di beberapa tempat). Tetapi berdasarkan ayat di mana Allah menggambarkan diriNya sebagai, Terakhir Jahm b. 'Afwan seharusnya bahwa surga dan neraka juga harus memiliki akhir, dan ia menemukan konfirmasi dari teorinya dalam ayat 107 dan 108 dari Sura XI, "Untuk tinggal di sana kekal selama langit dan bumi tetap'. Dengan demikian Allah akan menemukan sendiri sebagai mutlak sendirian di pasca-keabadian seperti dia di pra-keabadian.
(Arnaldez R.)
-------------------------------------------------------
Yang kedua - Dalil qidam iaitu sanya jikalau tiada ALLAH Taala Qadim (bersifat qidam) nescaya adalah ia baharu. Yang demikian berkehendak kepada yang menjadikan Dia. Dan yang membaharukan Dia. Yang demikian membawa kepada daur iaitu mustahil kerana lazim berhimpun dua yang berlaziman dan membawa kepada tasalsul iaitu mustahil, kerana yang bersamaan yang sedikit dengan yang banyak. Yang demikian sabitlah Tuhan itu qadim (tiada permulaan wujud-Nya). Adapun dalil naqlinya:

Ila jua Tuhan yang awal tiada permulaan dan yang akhir tiada kesudahan. (Al Hadid: 3)

Adapun makna daur itu iaitu terhenti ada tiap-tiap daripada dua suatu atas yang lainnya. Umpamanya Zaid menjadikan Umar, dan Umar menjadikan Zaid pula. Maka pada ketika itu terdahulu Umar tatkala ia menjadikan Zaid, dan terkemudian pula Umar pada ketika Zaid menjadikan dia. Yang demikian jadilah Umar dan Zaid itu terdahulu daripada dirinya (berhimpun pada seorang itu dua yang berlaziman yakni dahulu dan kemudian). Yang demikian tidak diterima oleh akal sekali-kali kerana yang menjadikan dahulu daripada yang kena jadi maka manakala sabit Umar menjadikan Zaid maka bagaimana boleh diterima akal Zaid boleh menjadikan Umar pula kerana Zaid terkemudian daripada Umar, maka yang kemudian barang yang telah tentu tidak boleh menjadikan orang yang terdahulu daripadanya. Yang demikian mustahil wujud daur pada akal.

Dan makna tasalsul itu pada loghat berantai-rantai. Maksudnya pada istilah iaitu berhubung atau bersambung-sambung beberapa perkara lepas satu, satu lepas satu, satu, hingga tiada berkesudahan. Misalnya seperti dikata Hassan menjadikan Husin. Husin menjadikan Mohsin, Mohsin menjadikan Khalid, Khalid menjadikan Jamil, Jamil menjadikan polan dan polan menjadikan polan. Demikianlah seterusnya tiada berkesudahan. Maka adanya sesuatu yang kena jadi dengan tiada berkesudahan yang menjadikan itu sesuatu perkara yang tiada diterima oleh akal (mustahil) adanya.

Maka daripada keterangan ini nyatalah tiap-tiap daur itu tasalsul, tiada 'akasnya dan nyatalah keduanya itu mustahil. Maka jika Tuhan tiada bersifat dengan qidam nescaya membawa kepada daur atau tasalsul yang mustahil itu tiap-tiap perkara yang membawa kepada mustahil itu mustahil juga. Yakni lazim daripada ada Tuhan, tidak ada Tuhan. Tatkala itu adanya makhluk turut mustahil pula padahal kita semua ada.

DALIL SIFAT QIDAM

PERBAHASAN kita di dalam bab ini berkisar di sekitar dalil-dalil ke atas sifat kedua yang wajib bagi ALLAH SWT iaitu sifat Qidam. Ertinya, kita hendak menunjukkan bahawa wajib ALLAH SWT itu bersifat Qidam melalui dalil-dalil dan buktinya.

Sebelum itu, elok juga kita sentuh serba sedikit tentang pengajian kita yang awal dulu iaitu semasa kita membahaskan dalil yang menunjukkan ALLAH itu bersifat Wujud.

Dalil bagi menunjukkan wujudnya ALLAH SWT ialah dengan baharunya alam ini. Dan baharunya alam ini adalah kerana ia tergabung di antara jirim dan ' aradh Jirim sepertimana yang kita ketahui adalah sesuatu yang mengambil tempat lapang. Dengan yang demikian, jirim itu bersifat baharu. Selain dari itu, 'aradh yang berdiri pada jirim itu, keadaannya sentiasa berubah-ubah, maka 'aradh itu bersifat baharu. Oleh kerana 'aradh berdiri di atas jirim, maka baharunya 'aradh membawa kepada baharunya jirim.

Jadi, kalau jirim dan 'aradh bersifat baharu sedangkan 'aradh dan jirim adalah gabungan yang menjadikan alam, maka dengan sendirinya alam juga baharu. Kalau alam ini baharu, tentulah ada yang membaharukannya. Yang membaharukannya atau yang menjadikannya adalah ALLAH SWT. Dari itu, jelas membuktikan wujudnya ALLAH SWT. :

Berikutan dari pengertian kita tentang wujudnya ALLAH SWT itu, maka di sini kita akan memerhatikan pula tentang dalil yang menunjukkan ALLAH SWT bersifat Qidam atau bersifat sedia. Erti sedia bagi ALLAH SWT ialah bahawa ALLAH SWT tidak didahului oleh tiada atau dalam ertikata yang lain, ALLAH SWT tidak ada permulaan.

Perbahasan yang mudah kita fahami yang dapat kita buat secara ringkas bagi menunjukkan bahawa wajib ALLAH SWT itu bersifat sedia ialah, kalau ALLAH SWT tidak bersifat Qidam atau sedia, maka tentulah akal kita akan berkata yang ALLAH itu baharu. Dan kalaulah ALLAH itu baharu, tentulah ada yang membaharukan-Nya atau yang menjadikan-Nya.

Dalam bab yang terdahulu, kita telah perhatikan bahawa sifat Qidam atau sedia bagi ALLAH SWT ialah sedia yang tidak ada permulaannya. Tidak seperti sifat sedia pada makhluk yang ada permulaannya. Umpamanya, kalau kita katakan yang nasi itu sudah sedia, ertinya, sedia bagi nasi itu ialah sedia yang ada permulaan. Dalam ertikata yang lain, sedia bagi nasi yang kita makan itu ialah suatu sedia yang disediakan. Ada yang menyediakannya. Berlainan sekali dengan sedia bagi ALLAH SWT yang mana sedia-Nya adalah sedia yang tidak ada permulaan.

Dalil Aqli

Maka yang demikian, kalaulah ALLAH SWT tidak bersifat Qidam, maka jadilah ALLAH itu baharu. Dan sekiranya ALLAH SWT itu baharu, tentulah ada yang membaharukan- Nya atau ada yang menjadikan-Nya. Kerana, kalau ALLAH SWT bersifat baharu, tentulah ALLAH SWT mula-mulanya tiada dan kemudian ada yang mengadakan-Nya. Demikian akal kita akan berkata sekiranya ada orang yang mengatakan bahawa ALLAH SWT tidak bersifat Qidam.

Kemudian, sekiranya ALLAH SWT itu baharu, maka yang demikian akan membawa kepada daur atau tasalsul Daur dan tasalsul ini adalah perkara yang mustahil. Ia tidak boleh diterima oleh akal tentang wujudnya. Ertinya, tidak akan ada atau tidak akan berlaku perkara itu. Umpamanya, berlaku dua perkara yang berlawanan dalam satu masa. Seperti berlakunya siang dan malam dalam satu masa. Siang sepertimana- yang kita ketahui adalah lawan bagi malam. Bila siang berlaku, malam tidak berlaku dan bila malam berlaku, siang pula tidak berlaku. Ertinya, siang dan malam silih berganti dan bergilir-gilir.

Apakah pemah siang dan malam berlaku dalam satu masa? Atau mungkinkah ia boleh berlaku? Akal tidak akan mahu menerimanya. Ertinya, perkara itu mustahil pada akal. Iaitu akal yang menentukan bahawa perkara itu tidak akan wujud.

Contoh lain ialah seperti duduk dengan berdiri; dua keadaan yang berlawanan yang mana berlakunya tidak serentak. Apabila keadaan duduk berlaku, berdiri tidak berlaku dan apabila keadaan berdiri berlaku, duduk tidak berlaku. Apakah kedua-dua keadaan ini boleh berlaku serentak dalam satu masa? Tidak mungkin terjadi. Mustahil akan terjadi. Tidak mahu diterima oleh akal akan berlakunya.

Dan banyaklah contoh yang lain yang boleh kita tunjukkan bagi mendapatkan pengertian mustahil pada akal ini. Dan bila kita membahaskan tentang daur ataupun tasalsul nanti, ia adalah benda yang mustahil pada akal. Tidak akan berlaku tentang wujudnya.

Iaitu kalau ada orang mengatakan yang ALLAH tidak wajib bersifat Qidam, maka akal kita akan mengatakan yang ALLAH itu baharu. Dan sekiranya ALLAH itu baharu, maka yang demikian itu akan membawa kepada daur ataupun tasalsul. Dan ini perkara yang mustahil.

Sebabnya dikatakan daur itu mustahil adalah kerana terhimpunnya dua perkara yang berlawanan, sepertimana kedudukan malam dan siang berlaku dalam satu masa, ataupun kedudukan duduk dan berdiri berlaku dalam satu masa. Daur itu ertinya terhenti ada tiap-tiap daripada dua suatu atas yang lain. Maksudnya, suatu benda itu tidak akan berlaku kalau tidak ada benda yang lain sepertimana benda yang lain itu juga tidak akan ada kalau tidak ada benda yang lain pula.

Untuk memahaminya, kita ambil contoh seperti yang disebutkan dalam matan Risalah Tauhid. Iaitu contohnya Zaid menjadikan Umar dan Umar pula menjadikan Zaid. Zaid tidak akan jadi kalau tidak ada Umar sepertimana Umar pula tidak akan jadi kalau tidak ada si Zaid. Jadi, bagaimanakah pertimbangan akal kita kalau ada yang mengatakan bahawa Umar menjadikan Zaid di samping itu pula si Zaid menjadikan Umar. Mahukah hal ini diterima oleh akal. Tentunya akal tidak mahu menerima. Mustahil berlakunya.

Ini satu contoh daur. Perkataan daur itu adalah dari bahasa Arab yang bolehlah kita maknakan "berpusingpusing". Seperti yang kita katakan tadi, Zaid menjadikan Umar dan Umar pula menjadikan Zaid. Ertinya, dalam satu ketika Zaid menjadikan Umar dan dalam ketika yang lain pula Umar menjadikan Zaid. Dalam hal ini Umar dan Zaid adalah perlu-memerlukan iaitu tidak akan ada Umar kalau tidak ada Zaid dan tidak pula akan ada Zaid kalau tidak ada Umar.

Apakah akal mahu menerima berlakunya kedudukan tersebut iaitu Umar menjadikan 'Zaid dan kemudian Zaid menjadikan Umar. Ertinya, sama ada pada Umar mahupun pada Zaid, berlaku dua keadaan yang berlawanan iaitu dahulu dan kemudian. Nisbah Umar menjadikan si Zaid, Umar adalah dahulu daripada Zaid. Tetapi apabila Zaid menjadikan Umar, ketika itu Umar pula yang kemudian daripada Zaid.

Jadi, dua perkara yang berlawanan keadaan telah berlaku pada diri Umar mahupun pada diri Zaid. Tentulah ini mustahil berlaku. Kalau Umar sudah menjadikan si Zaid, tidaklah akan berlaku pula Zaid menjadikan Umar. Akal tidak mahu menerima wujudnya. Ertinya tidak mahu diterima oleh akal daur seperti itu.

Dan begitulah boleh kita kiaskan kalau ada orang mengatakan yang ALLAH itu tidak wajib bersifat Qidam yang membawa erti bahawa ALLAH itu baharu. Kalau ALLAH itu baharu, ertinya ada yang menjadikan-Nya. Jadi, kalaulah ada orang mengatakan yang ALLAH itu dijadikan, samalah seperti mengatakan Tuhan pertama menjadikan Tuhan kedua, dan Tuhan kedua menjadikan Tuhan pertama. Mahukah diterima oleh akal? Tentu sekali tidak.

Mustahil diterima oleh akal kerana terjadinya dua keadaan yang berlawanan pada satu perkara. Dua keadaan yang berlawanan itu ialah dahulu dan kemudian. Dengan yang demikian daur adalah mustahil.

Tadi kita telah katakan bahawa kalau ada orang mengatakan ALLAH tidak wajib bersifat Qidam, maka berertilah bahawa ALLAH ada permulaan. Bermakna jugalah yang ALLAH bersifat baharu. Yang demikian itu akan membawa kepada daur dan tasalsul Daur, seperti yang telah kita bahaskan, adalah mustahil. Dan tasalsul juga adalah mustahil.

Mustahilnya tasalsul adalah kerana bersamaan perkara yang sedikit dengan yang banyak. Ertinya, yang banyak dan yang sedikit itu sama dan setaraf. Di sini tentu agak susah hendak kita fahami kaedah ini kalau kita tidak menghuraikan erti tasalsul

Tasalsul ini dari bahasa Arab yang maknanya pada loghah ialah "berantai-rantai". Pada istilah, ertinya ialah berhubung atau bersambung beberapa perkara dengan tidak berkesudahan. Seperti contohnya, Ahmad menjadikan Muhammad, Muhammad menjadikan Mahmud, Mahmud menjadikan si Zaid, Zaid menjadikan si Umar, Umar menjadikan Jamal, si Jamal menjadikan Hassan, Hassan menjadikan Hussin, Hussin menjadikan Mohsen, Mohsen menjadikan polan, polan menjadikan polan. Dan begitulah seterusnya berantai-rantai tidak berkesudahan dan tidak berpenghujung.

Apakah perkara yang seperti ini mahu diterima oleh akal? Tentunya tidak. Akal tidak mahu menerima terjadi perkara yang tasalsul seperti ini iaitu satu-satu perkara itu terjadi berhubung-hubung atau berantai-rantai hingga tidak ada penghujung atau tidak ada kesudahan. Pertimbangan akal kita menolak terjadinya hal ini. Sebab itu dikatakan bahawa;!, tasalsul juga mustahil.

Ertinya, kedua-dua daur dan tasalsul tidak akan terjadi pada ALLAH SWT. Dan oleh itu, nyatalah bahawa ALLAH SWT tidak bersifat baharu. Ertinya ALLAH SWT tidak ada. yang membaharukan. Dengan itu juga, nyatalah bahawa. ALLAH SWT tidak ada permulaannya. Iaitu ALLAH SWT. tidak didahului oleh tiada. Kerana itu, wajiblah ALLAH bersifat Qidam atau bersifat sedia yang tidak ada permulaan.

Berhubung dengan pengertian daur dan tasalsul tadi, di sini kita perpanjangkan sedikit lagi perbahasan mengenainya. Telah pun kita ketahui bahawa daur dan tasalsul itu adalah; mustahil pada ALLAH SWT Kerana itu bolehlah kita katakan bahawa tiap-tiap daur itu adalah tasalsul. Tetapi tiap-tiap tasalsul bukannya daur. Demikian tersebut di dalam matan Risalah Tauhid.

Maksudnya, sama ada daur mahupun tasalsul, mengikut pandangan akal, adalah mustahil berlakunya pada ALLAH SWT. Dan seterusnya, tiap-tiap yang membawa kepada mustahil itu adalah mustahil juga.

Jadi, kalau ada orang yang mengatakan bahawa ALLAH SWT tidak wajib bersifat Qidam, nanti akan berlakulah daur dan tasalsul itu pada ALLAH SWT. Daur dan tasalsul ini adalah mustahil. Dan tiap-tiap yang membawa mustahil itu adalah mustahil juga; yakni, lazim daripada ada Tuhan, tidak ada Tuhan. Dan di waktu itu, adanya makhluk turut mustahil pula.

Tentulah demikian akal kita akan mengatakan kalau daur dan tasalsul itu berlaku pada ALLAH SWT yang mana akan membawa kepada mustahil wujudnya Tuhan. Manakala, kalau wujudnya Tuhan itu mustahil, sudah tentulah wujudnya makhluk juga akan menjadi mustahil. Sedangkan makhluk dan seluruh alam ini sudah ada.

Kalau begitu, nyatalah akan wujudnya Allah S W T . Mustahil ALLAH SWT tidak wujud sedangkan alam ini; sudah ada. Dan wujudnya ALLAH SWT itu adalah wujud" yang tidak ada permulaan kerana mustahil berlakunya daur dan tasalsul pada ALLAH SWT. Dengan yang demikian juga, nyatalah ALLAH SWT wajib bersifat Qidam.

Demikianlah bahasan kita secara akal atau secara aqli bagi menunjukkan bahawa ALLAH SWT wajib bersifat Qidam. Atau wajib ALLAH SWT bersifat sedia yang tidak ada permulaan atau yang tidak didahulu oleh tiada.

Dalil Naqli

Kemudian kalau kita lihat pula di dalam Al Quran yang merupakan sumber kepada dalil naqli, ALLAH telah memberitahu kita dalam firman-Nya:

DIA-lah Tuhan yang awal tapi tiada permulaan dan yang akhir tapi tiada kesudahan. (Al Hadid: 3)

Jadi, kalau tadi kita telah tetapkan melalui perbahasan akal tentang bukti yang menunjukkan bahawa wajib ALLAH SWT bersifat Qidam, maka kebenaran itu ditegaskan sendiri oleh ALLAH SWT di dalam Al Quran. Penegasan ini adalah penegasan yang paling tepat dan paling layak kita terima sebagai keyakinan yang padu dan bulat. Kalau kita tidak yakin dengan penegasan ALLAH di dalam kitab yakni Al Quran, ertinya kita tidak yakin pada kitab sedangkan yakin pada kitab adalah salah satu daripada Rukun Iman yang enam.

Kalau salah satu sahaja daripada Rukun Iman yang enam itu cacat, maka cacatlah iman kita. Dan apabila cacat iman, kita akan jatuh kepada murtad. Kerana itu hendaklah kita berhati-hati dalarn soal-soal yang membawa kepaca cacatnya iman kerana kalau satu perkara saja yang kita tolak pun, maka akan gugurlah semuanya. Maknanya kita telah murtad. Hukum bagi orang yang murtad ialah kafir dan kalau mati dalam keadaan demikian, kekal abadilah dia di dalam Neraka. Wal'iyazubillah.

Jadi, untuk membawa kepada murtad atau kafir ini, cukup kalau sebahagian kecil saja daripada Al Quran itu kita tolak. Walaupun ada sebahagian besar yang lain kita percaya dan kita yakini malab kita amalkan pula, namun semuanya sudah tidak diiktiraf lagi oleh ALLAH SWT. Kerana mengikut kaedah yang telah ditetapkan oleh ulama di segi syariat Islam, kufur dengan sebahagian kecil saja daripada isi kitab bermakna kufur dengan seluruh isi kitab iaitu Al Quran.

Kaedah ulama yang telah diutarakan kepada kita itu berbunyi:

Menyebut sebahagian kecil (isi Al Kitab) itu bermaksud keseluruhannya.

Sebab itulah, Al Quran dan juga kitab-kitab yang pernah ALLAH turunkan sebelum Al Quran yang betul dan yang tidak diubah-ubah oleh manusia, hendaklah kita percaya semuanya walaupun kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al Quran itu tidak kita amalkan lagi kerana sudah dimansuhkan oleh Al Quran. Namun kita mesti percaya kepada semuanya iaitu Zabur, Taurat dan Injil dan lebih-lebih lagilah Al Quran yang bukan saja kita percaya dan yakini tetapi wajib pula kita amalkan setiap aspek dan setiap sudut yang ada di dalamnya. Ini telah diingatkan oleh ALLAH SWT kepada kita di dalam Al Quran dengan firman-Nya:

Wahai orang-orang beriman, musuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya. (Al Baqarah: 208)

Jadi setiap isi Al Quran itu mengandungi kehidupan di segi syariat Islam sama ada aqidahnya, akhlaknya, kemasyarakatannya, rumahtangganya, ekonominya, pergaulannya, perjuangan dan jihadnya atau apa saja hinggalah kepada persoalan bemegara sekalipun, semuanya mesti kita terima. Jangan ada satu bahagian pun yang kita tolak. Kalau ada sebahagian kecil saja yang kita tolak, katalah sepotong ayat saja, maka itu pun sudah cukup untuk membawa kita kufur kepada seluruh isi Al Quran, berdasarkan kaedah tadi.

Kalau kita fahami benar-benar akan kaedah ini dan kemudian kita suluh kepada diri dalam kehidupan setiap hari seperti dalam sikap kita, percakapan kita dan juga perbuatan dan usaha ikhtiar kita, nanti akan terdapat perkara-perkara yang ALLAH ceritakan di dalam Al Quran yang menjadi tandatanya kepada kita atau yang menimbulkan keraguan kita dan sebagainya. Malah kadang-kadang ada perkara-perkara yang kita tidak yakin.

Mungkin, kalau perkara-perkara yang ALLAH ceritakan di dalam Al Quran itu masuk di dalam lojik akal kita seperti ALLAH perintahkan kita makan dan minum, ALLAH perintahkan kita mengembara dan berjalan-jalan di merata pelosok bumi dan perintah-perintah yang seumpamanya yang sesuai dengan akal dan fitrah kita, tentu agak mudah kita menerimanya. Malah kita begitu meyakininya dan mahu mengamalkannya di dalam kehidupan kita sehari-hari.

Tetapi, bagaimana pula dengan cerita-cerita ALLAH yang tidak boleh kita lojikkan dengan akal fikiran kita seperti kita ambil satu contoh fir-man ALLAH di dalam Al Quran dengan ayat yang selalu kita kemukakan supaya kita dapat memahami benar-benar perbahasannya seperti yang telah dibentangkan oleh Imam Al-Ghazali rahimahullahu Taala. Ayat itu berbunyi:

Barang siapa yang bertaqwa kepada ALLAH, nescaya ALLAH akan lepaskan ia daripada sebarang kesusahan dan kepicikannya, dan ALLAH akan memberi dia rezeki dari sumber yang dia tidak mengetahuinya. (Ath Thalaq: 2-3)

Ada tiga perkara yang ALLAH ceritakan di dalam ayat ini. Pertama ALLAH menghendaki kita bertaqwa. Kemudian yang kedua, apabila kita telah tunaikan syarat itu dalam ertikata melaksanakan setiap suruhan ALLAH sungguh-sungguh sama ada yang fardhu mahupun yang sunat dan menjauhi larangan-Nya benar-benar sama ada yang haram mahupun yang makruh, maka kata ALLAH sebagai balasan dari itu, kita akan dilepaskan daripada sebarang kesusahan dalam kehidupan ini. Dan yang ketiganya, natijah dari kita bertaqwa itu, ALLAH juga akan memberi kita rezeki dari sumber-sumber yang kita sendiri tidak mengetahuinya. Ertinya, apa saja yang menjadi keperluan kita seperti makan minum yang sekadar perlu, keperluan rumahtangga yang sekadar perlu dan sebagainya, semua ini tetap ALLAH jaminkan asalkan kita bertaqwa kepada ALLAH SWT.

Malah, kalau kita lihat perbahasan Imam Ghazali r.t. dengan lebih terperinci lagi, katanya, kalau seseorang itu tidak melakukan sebarang usaha ikhtiar sekalipun seperti tidak berusaha mencari rezeki dan sebagainya, tetapi dia bertaqwa kepada ALLAH dalam ertikata melaksanakan setiap kerja ALLAH, baginya tetap ada jaminan makan minumnya yang perlu, keperluan rumahtangganya yang perlu dan lain-lainnya. Tentulah hal ini susah hendak kita terima kerana memang sudah selama ini kita dididik dan ditanamkan dengan fikiran bahawa setiap apa yang kita mahukan mesti kita lahirkan. Hati kita tentu akan berkata, "Mana jadi hidup ini hanya dengan bertaqwa saja."

Jadi cerita-cerita yang ALLAH firmankan di dalam Al Quran yang susah hendak dilojikkan dengan akal, memang susah hendak diterima oleh kebanyakan kita hari ini kerana dalam pengalaman kita hari-hari, kita sudah selalu sangat dibawakan dengan hal-hal yang ada hubungan dengan lojik akal. Sedangkan di dalam Al Quran, tidak semuanya boleh kita lojikkan dengan akal fikiran.

Di sini letaknya persimpangan jalan di antara kata-kata "orang banyak" dengan kata-kata "orang sedikit". Perkaraperkara yang tidak dapat dilojikkan dengan akal yang ALLAH ceritakan di dalam Al Quran, menjadi garis pemisah di antara "orang banyak" dengan "orang sedikit".

Umpamanya, "orang banyak" begitu yakin dan percaya yang kalau umat Islam ini mahu maju, mahu berdaulat serta mahu kuat, kekuatan lahir seperti yang diusahakan oleh orangorang kafir mesti dicari. Kalau orang kafir ada kekuatan ekonomi, umat Islam juga mesti mengejar kekuatan ekonomi. Kalau orang kafir ada kekuatan tentera, umat Islam juga mesti mencari kekuatan tentera. Kalau orang kafir ada kekuatan politik, umat Islam juga mesti mencari kekuatan politik. Kalau orang kafir ada kekuatan sains dan teknologi, umat Islam juga mesti mengejar kekuatan sains dan teknologi. Dan begitulah seterusnya dalam kekuatan-kekuatan lahir yang lainnya. Semua sekali umat Islam mesti cari kalau hendak maju dan kuat serta berdaulat.

Inilah yang menjadi keyakinan dan pegangan bagi "orang banyak". Sebaliknya, "orang sedikit" meyakini dan mempercayai apa yang telah disyaratkan oleh ALLAH SWT kepada umat Islam iaitulah sepertimana yang ALLAH sebut di dalam ayat tadi. Syaratnya, umat Islam mesti bertaqwa. Kemudian soal-soal yang lain, ALLAH akan selesaikan. Ertinya, perkara- perkara yang lain akan datang atau lahir dengan sendirinya seperti kekuatan ekonomi akan lahir, kekuatan politik akan lahir, kekuatan tentera akan lahir dan sebagainya. Kerana, semua itu datangnya dari pertolongan ALLAH SWT.

Tetapi inilah yang amat susah hendak diyakini oleh "orang banyak". Sebab itu peraturan yang telah ALLAH syaratkan untuk mendapat pembelaan dari ALLAH SWT di apa bidang sekalipun melalui jalan taqwa tadi telah ditolak oleh mereka. Hari ini "orang banyak" lebih yakin dengan cara yang telah dilakukan oleh orang kafir iaitu, umat Islam mesti cari kekuatan lahir kalau hendak maju jaya dan sebagainya. Insya-ALLAH, apa yang diyakini oleh "orang banyak" ini tidak akan membuahkan hasil. Mereka boleh buat apa saja untuk mendapatkan kekuatan lahir itu, namun umat Islam tidak juga akan memperolehi kejayaan dan kemajuan.

Buktinya dapat kita lihat pada kehidupan umat Islam di dunia hari ini. Hari ini, ada sesetengah umat Islam sudah hidup bebas dan merdeka di negara masing-masing. Kita juga di negara ini sudah merdeka lebih 30 tahun. Nisbah sesebuah negara itu hendak mengusahakan kekuatan lahir walau di bidang apa sekalipun, dalam masa 30 tahun, 40 tahun atau 50 tahun yang sudah, kita percaya sehingga hari ini sudah tentu kekuatan itu sudah diperolehi. Kerana kita dapat saksikan betapa negeri Jepun yang begitu teruk dengan berbagai kemelesetan dalam tahun 50-an dulu, kini dalam tempoh lebih kurang 30 tahun saja, ia sudah menjadi gergasi dunia di kebanyakan bidang. Ertinya, dalam tempoh yang singkat itu, Jepun sudah berjaya mendapatkan kekuatan lahir.

Tetapi umat Islam di sesetengah Negara Islam yang sudah merdeka lebih lama dari itu, hingga hari ini, belum mempunyai satu pun kekuatan lahir yang dapat dibanggakan. Belum ada satu Negara Islam yang kuat sama ada di bidang ekonomi, di bidang sains dan teknologi, dan sebagainya. Inilah akibat dari umat Islam begitu mengejar kekuatan lahir hingga sanggup meninggalkan taqwa. Akhimya sedikit pun ALLAH tidak memberi bantuan. Umat Islam telah tertipu dengan kekuatan yang ada pada orang kafir. Sedangkan ALLAH telah peringatkan di dalam Al Quran dengan firman-Nya:

Maka janganlah sekali-kali kesenangan kehidupan dunia menipu dayakan kamu. (Fathir: 5)

Jadi, jalan yang telah diyakini oleh "orang banyak" adalah jalan yang tidak disunnahkan oleh ALLAH SWT. Jalan yang disunnahkan oleh ALLAH kepada orang Islam ialah melalui taqwa, manakala jalan yang ditunjukkan oleh ALLAH kepada orang kafir ialah melalui 'kekuatan lahir'. Umat Islam mesti mengikut jalan yang telah ALLAH tunjukkan kepadanya dan bukan yang telah ditunjukkan kepada orang kafir. Iaitu umat Islam mesti usahakan taqwa untuk mendapat pembelaan dari ALLAH SWT. Perhatikanlah bagaimana janji ALLAH, kalau ini dapat diusahakan. Firman-Nya:

Kalau penduduk di sesebuah kampung itu beriman dan bertaqwa, nescaya ALLAH akan bukakan keberkatan dari langit dan bumi. (Al A'raf: 96)

Dua syarat saja yang ALLAH kehendaki dari umat Islam iaitu beriman dan bertaqwa. Dengan itu ALLAH akan bukakan keberkatan dari pintu langit dan bumi. Berkat itu ialah dengan timbulnya perpaduan, timbul ukhuwah, timbul kemajuan, timbul rasa takut dari musuh, timbul kekuatan dan lain-lainnya. Ertinya, dengan mengusahakan iman dan taqwa, pembalasan dari ALLAH begitu banyak sekali. Dengan beriman dan bertaqwa, kekuatan lahir akan datang dengan sendirinya.

Dengan itu, kembali kita kepada perbahasan yang menunjukkan bahawa wajib ALLAH SWT itu bersifat Qidam, . dalil yang tepat dan dalil yang wajib kita terima ialah apabila ALLAH mengatakan di dalam Al Quran:

----------------------------------

A. Arti Qidam.
Arti Qidam secara harfiyah adalah yang terdahulu, secara ma'any arti Qidam terbagi kepada3 pengertian
1. Qidam Idlofi, lamanya sesuatu karena disandarkan kepada yang lain, seperti ayah Qidam kalau disandarkan kepada anak, tetapi kalau disandarkan kepada kakek, ayah tidak Qidam.
2. Qidam Zamani, lamanya sesuatu karena memang sudah lama zamannya tetapi didahului dengan tidak ada, seperti Qidamnya alam semesta.
3. Qidam Dzati, lamanya sesuatu tidak diawali dengan tidak ada, tidak bersandar kepada adanya yang lain dan tidak terikat zaman, yakni Qidamnya Allah SWT.
Qidamnya Allah SWT, tidak terkurung zaman karena menurut para ‘Ulama Ushuluddin yang disbeut zaman adalah
مُقَا رَنَةُ مُتَجَدِّدٌ مَوْهُوْمٌ لِمُتَجَدِّدٍ مَعْلُوْمٍ اِزَالَةً لِلاِ بْهَا مِ
Artinya : Menyertainya sesuatu yang baru, yang masih negatif, kepada sesuatu yang baru yang adanya positif, demi untuk menghilangkan keabstrakan yang ada.

Berdasarkan dari ta'rif tersebut di atas, jelaslah bahwa Allah SWT, tidak terikat zaman, Allah SWT. Adalah Dzat Yang Qodim, Maha Tunggal, Allah SWT. Wahdahu La Syarika Lah, tidak ada yang menyertainya.
Oleh sebab itu maka tercabut dari Maqulat Mata, yakni bahasa yang menunjukan kepada zaman, seperti sekarang, kemarin, dahulu besok, bulan, tahun dan lain sebagainya, maka tidak sah pertanyaan : sejak kapan adanya Allah SWT. ?, sampai kapan dia berada ? dan sebagainnya.
B. Kata Qodim dan Azali
Ada dua perkataan yang berkaitan dengan Qidam, yaitu Qodim dan Azali, yang pengertian dan hubungannya dengan Qidam para ‘Ulama berpendapat :
1. Perkataan Qodim dipergunakan untuk sesuatu yang ada dan adanya tidak ada permulaan dan tidak terkait zaman, maka yang disebut Qodim adalah Dzat Allah SWT. Dan sifat Ma'ani di Allah SWT. Perkataan Azali, dipergunakan untuk yang tidak ada permulaan, maka yang disebut Azali adalah Allah SWT. Dan semua sifat Allah SWT.
2. Perkataan Qodim, hanya digunakan untuk yang tidak ada permulaan dan tidak membutuhkan kepada yang lain maka perkataan Qodim hanya untuk Dzat Allah SWT, tidak kepada sifatnya, karena sifat membutuhkan kepada Dzat. Perkataan Azali, untuk yang tidak ada permulaan, baik berdiri sendiri atau bersandar kepada yang lain, maka perkataan Azali adalah untuk Dzat Alloh SWT, dan seluruh sifat-sifatNya.
3. Perkataan Qodim dan Azali, sasarannya sama, untuk yang tidak ada permulaan, maka seluruh sifat Allah SWT. Dan Dzat Allah SWT. Bisa disebut Qidam bisa pula disebut Azali.
C. Dalil ‘Aqli Sifat Qidam
Dalil ‘Aqli (logika) yang menunjukan kepada Qidamnya Allah SWT, adalah ; Apabila Allah tidak Qidam, maka pasti adanya Allah didahului dengan tidak ada, sedangkan proses dari tidak ada kepada ada, pasti memerlukan kepada yang mengadakan (pencipta). Andaikan yang menciptakan Allah itu adalah Allah yang kedua, maka Allah yang keduapun pasti tidak Qidam, sebab keberadaannya tentu akan membutuhkan pencipta lagi seperti Allah yang pertama, kalau diperkirakan Allah yang kedua itu adalah Allah yang pertama maka pasti menimbulkan problema Daor, yakni perkara yang pertama menunggu kepada yang kedua dan yang keduapun menunggu yang pertama. Hal seperti ini adalah mustahil wujud (tidak mungkin adanya). Kalau diperkirakan lagi bahwa pencipta Allah yang ketiga, yang ketiga diciptakan oleh yang ke empat dan terus berkelanjutan tanpa ada akhirnya makan akan terjadi proses Tasalsul yakni proses berantai yang tiada ber-kesudahan, hal ini adalah mustahil wujud seperti Daor. Oleh karena proses Daor. Oleh karena proses Daor dan Tasalsul adalah mustahil maka tetaplah bahwa Allah itu Qidam.
Kebenaran dalil ‘Aqli tersebut diperkuat dengan firman Allah dalam al-Qur'an surat 21. al-Anbiya ayat 22 :
لَوْكَانَ فِيْهِمَا اَلِهَةٌ اللهُ لَفَسَدَ تَا ..... الانبياء
Artinya : Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah Rusak binasa. Maka Maha suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.

Sekarang Langit dan Bumi tersaksi ada, ini merupakan tanda yang positif kepada tidak adanya lagi Tahun selain Allah.
 Dalil Naqli Sifat Qidam.
 Firman Allah dalam surat 57, al-Hadid ayat 3 :
— هُوَ الاَ وَّلُ وَالاَ خِرُ وَاظَّهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلّ ِشَيْ ءٍ عَلِيْمu
 Artinya : Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin]; dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu
 Pengertian Dalil dan Naqid
 Meyakinkan kepada sifat Qidam Allah belum cukup untuk mengesakan seseorang bisa disebut Mukmin, sebelum meyakinkan kepada mustahilnya allah tidak Qidam dan harus pula meyakinkan barunya alam semesta, sebagai kebalikan dari Qidamnya Allah. Istilah kebalikan dalam bahasan Aran disebut dengan dua kata, yaitu Dalil dan Naqid yang terjemahnya dalam bahasa Indonesia adalah sama yaitu Berlawanan, padahal dalam ma'nanya adalah berbeda :
 Dalil, maknya adalah : dua materi kata yang berlawanan, yang tidak bisa kumpul namun kedua-duanya bisa hilang, seperti hitam dan putih, kedua-duanya tidak bisa bersatu dalam satu titik tapi bisa hilang dua-duanya, umpanya diganti dengan warna lain, atau seperti panjang dan pendek ada pertengahannya.
 Naqid, ma'nanya adalah : Dua materi kata yang berlawanan yang tidak bisa berkumpul dan tidak bisa hilang dua-duanya. Seperti siang dan malam, tidak bisa ya siang ya malam, kalau tidak siang pasti malam kalau tidak malam tentu siang, tidak ada pihak ketiga sebagai penggantinya, malam tidak siangpun tidak.
 Dalam istilah ilmu tauhid, Dalil itu berarti Naqid yakni bila ditetapkan sesuatu, maka kebalikannya harus hilang, seperti Allah wajib kuasa maka mustahil allah tidak kuasa, tidak bisa dikatakan terkadang kuasa, terkadang lemah.